MODEL-MODEL
PENDIDIKAN ISLAM
Realita perubahan sosiokultural yang melanda seluruh bangsa
di atas bumi, termasuk bangsa Indonesia, menuntut kepada adanya konsepsi baru
yang tanggap dan sanggup memecahkan problema-problema kehidupan umat manusia
melalui pusat-pusat gerakan paling strategis dalam masyarakat. Salah satu pusat
strategis tersebut adalah gerakan kependidikan yang mempunyai landasan ideal
dan operasional yang kokoh berdasarkan nila-nilai yang pasti dan antisipatif
kepada kemajuan hidup masa mendatang.
Pendidikan Islam yang bertugas pokok menggali, menganalisis,
dan mengembangkan serta mengamalkan ajaran Islam bersumberkan Alqur’an dan
Al-Hadits, cukup memperoleh bimbingan dan arahan dari kandungan makna yang
terungkap dari kedua sumber tuntutan tersebut. Makna yang komprehensif dari
sumber tersebut menjangkau dan melingkupi segala aspek kehidupan manusia
modern.
Secara embrionik, dorongan, dan rangsangan ajaran Alqur’an
terhadap perkembangan rasio untuk pemantapan iman dan takwa diperkokoh melalui ilmu
pengetahuan manusia merupakan ciri khas islami, yang tidak terdapat di dalam
kitab-kitab suci agama lain. Alquran sebagai sumber pedoman hidup umat manusia
telah menggelarkan wawasan dasar terhadap masa depan hidup manusia dengan
rentangan akal pikirannya yang mendalam dan meluas sampai pada penemuan ilmu
dan teknologi yang canggih.
Pandangan objektif dari salah seorang dokter bedah
berkebangsaan Prancis, Dr. Maurice Bucaille, yang telah melakukan studi
perbandingan mengenai Bibel dan Alquran serta sains modern sungguh mengejutkan
umat Islam sendiri yang setiap hari memegang dan membaca kitab suci Alquran.
Pendapat beliau berdasarkan standar ilmiah modern melalui analisis komparatif
dan akademik terhadap kebenaran Alquran sebagai wahyu murni, secara tekstual
dan materiil, menunjukkan bahwa “Alquran diwahyukan sesudah kitab suci
sebelumnya, buka saja bebas dari kontradiksi dalam riwayat-riawayatnya.
Kontradiksi yang menjadi ciri Injil karena disusun oleh manusia tetapi juga
menyajikan kepada orang yang mempelajarinya secara objektif dengan mengambil
petunjuk dari sains madern, suatu sifat yang khusus yakni persesuaian yang
sempurna dengan hasil sains modern. Lebih dari itu semua sebagaimana telah kita
buktikan, Alquran mengandung pernyataan ilmiah yang sangat modern yang tidak
masuk akal, jika dikatakan bahwa orang yang hidup pada waktu Alquran itu
diwahyukan adalah pencetus-pensetusnya. Dengan begitu, maka pengetahuan ilmiah
modern memungkinkan kita memahami ayat-ayat tertentu dalam Alquran yang sampai
sekarang tidak dapat di tafsirkan.
Pendidikan Islam dapat kita kembangkan menjadi suatu agent
of technologically and culturally motivating resources dalam berbagai model
yang mampu mendobrak pola pikir tradisional yang pada dasarnya dogmatis, kurang
dinamis, dan berkembang secara bebas. Pada prinsipnya nilai-nilai Islam tidak
mengekang atau membelenggu pola pikir manusia dalam proses pengembangan ilmu
pengetahuan. Relevan dengan hal tersebut adalah kemampuan berijtihad dalam
segala bidang ilmu pengetahuan perlu dikembangkan terus-menerus. Yang menjadi
permasalahan adalah tentang bagaimana kita membudidayakan ide-ide dan
konsep-konsep keilmiahan yang bersumberkan kitab suci Alquran ke dalam educational
engineering yang operasional dan fungsional sehingga dapat mengacu ke dalam
perkembangan masyarakat yang makin dinamis.
Proses dialogis antara agama dan iptek harus dilangsungkan
terus-menerus untuk membangun struktur dan kultur kehidupan stabil dan damai
yang bersendikan iman dan takwa kepada Tuhan seru sekalian alam.
Peranan maksilmalnya mendasari dan memotivasi perkembangan
iptek dengan iman, Islam, dan ihsan sehingga ia mengabdikan kepada kepentingan
hidup manusia buka sebaliknya, manusia mengabdi kepada iptek.
Orientasi dasar pendidikan Islam, yang diletakkan oleh
Rasulullah pada awal risalahnya ialah menumbuhkembangkan sistem kehidupan
sosial yang penuh kebajikan dan kemakmuran (dengan amal saleh), meratakan
kehidupan ekonomi yang bertumpu pada nilai-nilai moral tinggi; dan berorientasi
kepada kebutuhan pendidikan yang mengembangkan daya kreativitas dan pola pikir
intelektual bagi terbinanya tekno-sosial yang berkeadilan dan berkemakmuran.
Ketiga dimensi oerientasi dasar tersebut menjadi modal pokok untuk
mendinamisasikan umat manusia pada kurun waktu permulaan sejarah pendidikan
Islam, yaitu pada zaman Nabi dan sahabat besar Nabi (khulafa’ ar-rasyidun).
Pendidikan Islam benar-benar menggugah potensi alami manusia yang suci bersih
sehingga mengacu kepada tuntutan aspiratif yang bercitra Ilahiah dan insaniah.
Pendidikan Islam pada masa itu mampu menjadikan kaum muslimin sebagai pelaku
positif terhadpa pembangunan diri pribadi dan masyarakatnya sehingga self-propelling
dalam proses mencapai baldatun
thoyibatun wa rabbun ghafur.
Sendi-sendi yang mendasari kehidupan psikologis manusia,
yaitu iman tauhid yang berdimensi ketakwaan yang monoloyal kepada Allah,
berhasil mendorong dan di pacu untuk berperan nyata dalam segala bidang
kehidupan yang melahirkan sikap hidup fastabiqul khairat.
Menurut al-Ghazali, secara potensial pengetahuan itu telah
eksis dalam jiwa manusia bagaikan benih yang ada di dalam tanah. Ia memandang
bahwa sistem perkembangan kemampuan rasionalitas itu berdasarkan pola
keseimbangan dengan kekuasaan Tuhan dan keseimbangan penalaran dengan pengalaman
mistik yang memberikan ruang bagi bekerjanya rasio, serta keseimbangan antara
berpikir edukatif dengan pengalaman empiris manusia.
Ibnu Khaldun berpandangan serupa dengan al-Ghazali.
Menurutnya akal pikiran (rasio) merupakan kekuatan menciptakan kehidupan dan
kerja sama dengan anggota-anggota masyarakat serta untuk menerima wahyu Tuhan
melalui Rasul-Nya. Akal pikiran itulah yang menjadi dasar bagi kegiatan
belajarnya. Ibnu Sina yang berpandangan idealistis dalam pendidikan lebih
menekankan pembinaan akhlak atau moralitas. Namun dalam operasionalisasi
kependidikan ia berpaham empiris.
Lebih lanjut Muhammad Abduh lebih mengedepankan kemampuan
rasional dalam proses pemahaman ajaran Islam melalui pendidikan. Ia memandang
bahwa peranan sistem pendidikan besar sekali bagi proses modernisasi kehidupan
umat Islam. Pendidikan harus didasari dengan moral dan agama. Pendidikan agama
diintegrasikan ke dalam ilmu pendidikan agama. Pendidikan dipandang sebagai
alat yang paling efektif untuk mengadakan pembaruan atau perubahan.
Pokoknya semua ilmu duniawi dan ukhrawi diintegrasikan
menjadi satu ilmu pengetahuan yang bulat, karena ilmu pengetahuan pada
hakekatnya berasal dari Tuhan.
“
dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang Maha
mengetahui”. (QS. Yusuf: 76)
“ Dia
mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”(QS. Al-Alaq: 5)
Umat Islam harus mengubah sikap
pandangannya yang lama, yaitu dari
pandangan terhadap lembaga pendidikan Islam hanya sebagai gudang ilmu atau
transfer dan transmisi cultural menjadi sentra pengolahan ilmu yang
alamiah dan ilmiah yang mengacu
kepada tuntutan masyarakat yang thoyibah
warabbun ghafur dapat terwujud.
Oleh karena itu, berbagai model
pendidikan Islam yang berorientasi perspektif ke masa depan merupakan jawaban
yang tepat guna.
Model-model pendidikan yang terbukti
tidak memuaskan tuntutan umat terlihat pada praksisasinya sebagai berikut.
- Model pendidikan Islam yang berorientasi kepada pola pikir bahwa nilai-nilai yang konservatif dan asketis harus dilestarikan dalam sosok pribadi muslim yang resisten terhadap pukulan gelombang zaman.
- Jika pendidikan Islam berorientasi kepada pola pikir bahwa nilai-nilai islami yang mengandung potensi mengubah nasib masa lampau ke masa kini yang dijadikan inti kurikulum pendidikan, maka model pendidikan Islam menjadi bercorak perenialistik di man nilai-nilai yang terbukti tahan lama saja yang diinternalisasikan ke dalam pribadi anak didik. Sedang nilai-nilai yang potensial bagi semangat pembaruan ditinggalkan.
- Bila pendidikan Islam hanya lebih berorientasi pada personalisasi kebutuhan pendidikan dalam segala aspeknya, maka ia bercorak individualistis, di mana potensi aloplastik (bersifat mengubah dan membangun) masyarakat dan alam sekitar kurang mengacu kepada kebutuhan sosiokultural.
- Jika pendidikan Islam berorientasi kepada masa depan sosio, masa depan tekno, dan masa depan bio, di mana ilmu dan teknologi menjadi pelaku perubahan dan pembaruan kehidupan sosial, maka pendidikan Islam bercorak teknologis, di mana nilai-nilai samawi ditinggalkan diganti dengan nilia-nilai pragmatik-realivistik kultural.
- Akan tetapi, jika pendidikan Islam yang berorientasi kepada perkembangan masyarakat berdasarkan proses dialogis di mana manusia di tempatkan sebagai geiger-counter, pendeteksi sinar radioaktif elemen-elemen sosial yang berpotensi kontroversial ganda, yaitu membahagiakan dan menyejahterakan. Maka mekanisme reaksi dalam perkembangan manusia menjadi gersang dari nilai-nilai Ilahi yang mendasari fitrah.
Dengan memperhatikan potensi psikologis dan pedagogis
manusia anugerah Allah, model pendidikan Islam seharusnya berorientasi kepada
pandangan falsafah sebagai berikut.
- Filosofis, memandang manusia didik adalah hamba Tuhan yang diberi kemampuan fitrah, dinamis, dan sosial-religius serta yang psiko-fisik.
- Etimologis, potensi berilmu pengetahuan yang berpijak pada iman dan berilmu pengetahuan untuk menegakkan iman yang bertauhid, yang basyariyah dharuriah, manjadi shibghah manusia muslim sejati berderajat mulia.
- Pedagogis, manusia adalah makhluk belajar sejak dari ayunan sampai liang lahat yang proses perkembangannya didasari nilai-nilai islami yang dialogis terhadap tuntutan Tuhan dan tuntutan perubahan sosial, lebih cenderung kepada pola hidup yang harmonis antara kepentingan duniawi dan ukhrawi, serta kemampuan belajarnya disemangati oleh misi kekhalifahan di muka bumi.
Secara kurikuler model pendidikan tersebut didesain menjadi:
- Content: lebih di fokuskan pada permasalahan sosiokultural masa kini untuk diproyeksikan ke masa depan, dengan kemampuan anak didik mengungkapkan tujuan dan nilai-nilai yang inheren dengan tuntutan Tuhan.
- Pendidik: bertanggung jawab terhadap penciptaan situasi komunitas yang dialogis interdependen dan terpercaya.
- Anak didik: dalam proses belajar mengajar melakukan hubungan dialogis dengan yang lain.
makalah Pendidikan dalam Islam
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengetahuan intelektual dan teknologi yang berkembang sepanjang sejarah
hingga sekarang menunjukkan penggalian ilmu dan proses pendidikan yang bergerak
berkesinambungan dan tidak putus pada suatu zaman, bahkan berkembang pesat pada
abad ini. Orang-orang yang memiliki kepercayaan tentang kekuatan pendidikan
akan merealisasikan cita-cita mereka menuju kenyataan. Sebaliknya mereka yang
tidak percaya dan tidak memiliki kesadaran untuk memiliki pengetahuan dan
menangkap pendidikan akan terancam tergeser dari lingkungan peradaban yang
terus berkembang. Pendidikan sudah merupakan kebutuhan umat manusia, tidak
pandang kasta atau harta. Pendidikan bukan suatu hal yang mewah, karena memang
seharusnya pendidikan itu dirasakan oleh setiap individu yang mau mempelajari
sesuatu yang dapat berguna untuk menjalani hidup-hidup mereka. Pendidikan
melatih individu untuk terjun ke dalam masyarakat. Perkembangan peradaban
sejalan dengan perkembangan pendidikan yang semakin pesat, kemajuan teknologi
dan proses komunikasi semakin membantu ilmu dan pengetahuan masuk ke dalam
lingkup yang cenderung lebih besar dari peradaban sebelumnya. Pengetahuan dan
ilmu tidak serta merta didapat dari suatu proses yang instan, namun ada suatu
proses panjang yang memungkinkan pertambahan kompleksitas masalah dan paradigma
yang terdapat di dalamnya. Kemampuan memproses masukkan ilmu dan pengetahuan
dalam diri seseorang berbeda-beda. Maka, pendidikan harus melalui proses yang
panjang untuk membentuk karakteristik seorang individu agar siap masuk ke dalam
lingkungan masyarakat yang beragam. Melalui pendidikan, banyak hal yang dapat
di sampaikan, melalui pendidikan juga ada pewarisan budaya di dalamnya yang
dapat diturunkan ke generasi berikutnya.
Pendidikan yang dibentuk di atas kriteria agama, mencapai keberhasilan
paling unggul dalam masyarakat. Ia menghilangkan berbagai ketegangan serta
pemberontakan, dan menetapkan individu untuk hidup secara wajar dalam
lingkungan mereka. Dengan jelas dan gamblang, ayat-ayat Al-Qur’an menekankan
bahwa pengetahuan serta perkembangan intelektual diperoleh melalui usaha serta
pembelajaran dan diterima melalui pendengaran, penglihatan, serta nalar. [1][1]
Pendidikan merupakan sarana yang tepat sebagai dasar pengembangan
kepribadian dan pemikiran intelektual manusia. Melalui sebuah proses pendidikan
yang dilandasi Islam, seorang manusia dapat berpikir tentang penciptaan alam
semesta beserta isinya dengan merujuk pada Al-Qur’an dan Hadis sebagai pedoman
dalam mendapatkan ilmu pengetahuan.
Pendidikan agama merupakan hal terpenting, sebab melalui pendidikan agama
dapat dipusatkan perhatian pada perbaikan spiritual, disiplin diri, serta
perbaikan tingkah laku. Ketika seorang individu menguatkan bahwa agama
mendukung individu-individu dengan kekuatan iman, intelektual, serta
ketelitian. Kekuatan inilah yang membentuk kekuatan spiritual yang menghasilkan
berbagai kemuliaan dalam akal. Inilah yang benar-benar menjadi tujuan manusia
yang baik yang pantas di kejar.
1.2 Tujuan
Makalah yang berjudul “Pendidikan dalam Islam” ini bertujuan:
1.
Untuk memberikan informasi kepada pembaca bagaimana Pendidikan
seharusnya dalam Islam.
2.
Menginformasikan pula dengan menunjukkan komponen-komponen yang terdapat
di dalamnya.
3.
Memberikan gambaran kepada para pembaca tentang paradigma pengembangan
pendidikan dalam Islam dan pendidikan yang sedang di laksanakan pada kurikulum
yang terdapat di Indonesia.
BAB II
ISI
2.1
Pengertian Pendidikan
Secara Umum
Pendidikan berasal dari kata pedagogi (paedagogie, Bahasa Latin) yang
berarti pendidikan dan kata pedagogia (paedagogik) yang berarti ilmu pendidikan
yang berasal dari bahasa Yunani. Pedagogia terdiri dari dua kata yaitu ‘Paedos’
dan ‘Agoge’ yang berarti saya membimbing, memimpin anak. Sedangkan paedagogos
ialah seorang pelayan pada zaman Yunani Kuno yang pekerjaannya mengantar dan
menjemput anak-anak siswa ke dan dari sekolah. Perkataan paedagogos yang semula
berkonotasi rendah (pelayan, pembantu) ini, kemudian sekarang dipakai untuk
nama pekerjaan yang mulia yakni paedagoog (pendidik atau ahli didik atau guru).
Dari sudut pandang ini pendidikan dapat diartikan sebagai kegiatan seseorang
dalam membimbing dan memimpin anak menuju ke pertumbuhan dan perkembangan
secara optimal agar dapat berdiri sendiri dan bertanggung jawab.
Pendidikan berkaitan erat dengan segala sesuatu yang bertalian dengan
perkembangan manusia mulai perkembangan fisik, kesehatan, keterampilan,
pikiran, perasaan, kemauan, sosial, sampai kepada perkembangan Iman.
Perkembangan ini mengacu kepada membuat manusia menjadi lebih sempurna, membuat
manusia meningkatkan hidupnya dan kehidupan alamiah menjadi berbudaya dan
bermoral.
Sebagaimana dikutip oleh Ahmad Tafsir, Rupert C. Lodge dalam bukunya
Philosophy of Education (New York : Harer & Brothers. 1974 : 23) menyatakan
bahwa dalam pengertian yang luas pendidikan itu menyangkut seluruh pengalaman.
Namun faktanya bahwa tidak semua
pengalaman dapat dikatakan pendidikan. Mencuri, mencopet, korupsi dan membolos
misalnya, bagi orang yang pernah melakukannya tentunya memiliki sejumlah
pengalaman, tetapi pengalaman itu tidak dapat dikatakan pendidikan. Karena
pendidikan itu memiliki tujuan yang mulia, baik dihadapan manusia maupun
dihadapan Tuhan.
Banyak rumusan
pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya:
a.
John Dewey : pendidikan merupakan suatu proses pembentukan kecakapan
mendasar secara intelektual dan emosional sesama manusia.
b.
JJ. Rouseau : Pendidikan merupakan pemberian bekal kepada kita apa yang
tidak kita butuhkan pada masa kanak-kanak, akan tetapi kita butuhkan pada saat
dewasa.
c.
M. J. Langeveld : Pendidikan merupkan setiap usaha yang dilakukan untuk
mempengaruhi dan membimbing anak ke arah kedewasaan, agar anak cekatan
melaksanakan tugas hidupnya sendiri. Menurut Langeveld pendidikan hanya
berlangsung dalam suasana pergaulan antara orang yang sudah dewasa (atau yang
diciptakan orang dewasa seperti : sekolah, buku model dan sebagainya) dengan
orang yang belum dewasa yang diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan.
d.
John S. Brubacher : Pendidikan merupakan proses timbal balik dari tiap
individu manusia dalam rangka penyesuaian dirinya dengan alam, dengan teman dan
dengan alam semesta.
e.
Kingsley Price mengemukakan: Pendidikan adalah proses yang berbentuk non
fisik dari unsur-unsur budaya yang dipelihara atau dikembangkan dalam mengasuh
anak-anak muda atau dalam pembelajaran orang dewasa.
f.
Mortimer J. Adler : pendidikan adalah proses dimana semua kemampuan
manusia (bakat dan kemampuan yang diperoleh) yang dapat dipengaruhi oleh
pembiasaan, disempurnakan dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik melalui sarana
yang secara artistik dibuat dan dipakai oleh siapa pun untuk membantu orang
lain atau dirinya sendiri mencapai tujuan yang ditetapkan, yaitu kebiasaan yang
baik.
Definisi di atas dapat dibuktikan kebenarannya oleh filsafat pendidikan,
terutama yang menyangkut permasalahan hidup manusia, dengan kemampuan-kemampuan
asli dan yang diperoleh atau tentang bagaimana proses mempengaruhi
perkembangannya harus dilakukan. Suatu pandangan atau pengertian tentang
hal-hal yang berkaitan dengan objek pembahasan menjadi pola dasar yang memberi
corak berpikir ahli pikir yang bersangkutan. Bahkan arahnya pun dapat dikenali
juga.
Dari berbagai pandangan di atas
dapat dilihat bahwa dikalangan pakar pendidikan sendiri masih terdapat
perbedaan-perbedaan pendapat. Hal ini disebabkan oleh latar belakang pendidikan
ahli pendidikan itu dan kondisi pendidikan yang diperbincangkan saat itu, yang
semuanya memiliki perbedaan karakter dan permasalahan. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa pendidikan merupakan usaha yang dilakukan dengan penuh
kesadaran dan terencana (bertahap) dalam meningkatkan potensi diri peserta
didik dalam segala aspeknya menuju terbentuknya kepribadian dan akhlak mulia
dengan menggunakan media dan metode pembelajaran yang tepat guna melaksanakan
tugas hidupnya sehingga dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang
setinggi-tingginya.
2.2
Pengertian Pendidikan
Islam
Dari berbagai literatur terdapat berbagai macam pengertian pendidikan
Islam. Menurut Athiyah Al-Abrasy, pendidikan Islam adalah mempersiapkan manusia
supaya hidup dengan sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, tegap
jasmaninya, sempurna budi pekertinya, pola pikirnya teratur dengan rapi,
perasaannya halus, profesional dalam bekerja dan manis tutur sapanya. Sedang
Ahmad D. Marimba memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan
jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum Islam menuju kepada terbentuknya
kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Sedangkan menurut Syed Muhammad
Naquib Al-Attas, pendidikan adalah suatu proses penamaan sesuatu ke dalam diri
manusia mengacu kepada metode dan sistem penamaan secara bertahap, dan kepada
manusia penerima proses dan kandungan pendidikan tersebut.1
Dari definisi dan pengertian itu ada tiga unsur yang membentuk pendidikan
yaitu adanya proses, kandungan, dan penerima. Kemudian disimpulkan lebih lanjut
yaitu "sesuatu yang secara bertahap ditanamkan ke dalam diri
manusia".
Jadi definisi pendidikan Islam adalah pengenalan dan pengakuan yang
secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia, tentang tempat yang
tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan, sehingga membimbing ke
arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud
dan kepribadian. Jadi pendidikan ini hanyalah untuk manusia saja.
Kembali kepada definisi pendidikan Islam yang menurut Al-Attas
diperuntukkan untuk manusia saja. Menurutnya pendidikan Islam dimasukkan dalam
At-ta'dib, karena istilah ini paling tepat digunakan untuk menggambarkan
pengertian pendidikan itu, sementara istilah tarbiyah terlalu luas karena
pendidikan dalam istilah ini mancakup juga pendidikan kepada hewan. Menurut
Al-Attas Adabun berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa
pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hirarkis sesuai dengan beberapa
tingkat dan tingkatan derajat mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat
dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kepastian dan potensi
jasmaniah, intelektual, maupun rohaniah seseorang.
Dari pengertian Al-Attas tersebut dibutuhkan pemahaman yang mendalam,
arti dari pengertian itu adalah, "pengenalan" adalah menemukan tempat
yang tepat sehubungan dengan apa yang dikenali, sedangkan "pengakuan"
merupakan tindakan yang bertalian dengan pengenalan tadi. Pengenalan tanpa
pengakuan adalah kecongkakan, dan pengakuan tanpa pengenalan adalah kejahilan
belaka. Dengan kata lain ilmu dengan amal haruslah seiring. Ilmu tanpa amal
maupun amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan. Kemudian tempat yang tepat adalah
kedudukan dan kondisinya dalam kehidupan sehubungan dengan dirinya, keluarga,
kelompok, komunitas dan masyarakatnya, maksudnya dalam mengaktualisasikan
dirinya harus berdasarkan kriteria Al-Quran tentang ilmu, akal, dan kebaikan
(ihsan) yang selanjutnya mesti bertindak sesuai dengan ilmu pengetahuan secara
positif.
Dalam pandangan Al-Attas pendidikan Islam harus terlebih dahulu diberikan
kepada manusia sebagai peserta didik,
pendidikan tersebut berupa pengetahuan tentang manusia disusul dengan
pengetahuan-pengetahuan lainnya. Dengan demikian dia akan tahu jati dirinya
dengan benar, tahu "dari mana dia, sedang dimana dia, dan mau kemana dia
kelak". Jika ia tahu jati dirinya, maka ia akan selalu ingat dan sadar
serta mampu dalam memposisikan dirinya, baik terhadap sesama makhluk, dan yang
terlebih lagi kepada Allah SWT. Ketiga realita yaitu, manusia, alam, dan Tuhan
diakui keberadaannya, dengan Tuhan sebagai sumber dari segalanya (alam dan
manusia). Tuhan dapat dipahami sebagaimana dinformasikan dalam Al-Quran sebagai
Rabb al-Alamin, dan Rabb al-Nass. Amrullah Ahmad menilai bahwa dalam definisi
pendidikan Al- Attas mengandung proses pengajaran seseorang dalam tatanan
kosmis dan sosial yang akan mengantarkannya untuk menemukan fungsinya sebagi
kholifah.
Bila pendidikan diartikan sebagai latihan mental, moral, dan fisik yang
bisa menghasilkan manusia berbudaya tinggi maka pendidikan berarti menumbuhkan
personalitas (kepribadian) serta menanamkan rasa tanggung jawab.
Oleh karena itu, bila manusia berpredikat muslim, benar-benar akan
menjadi penganut agama yang baik, menaati ajaran Islam dan menjaga agar rahmat
Allah tetap berada pada dirinya. Ia harus mampu memahami, menghayati, dan
mengamalkan ajarannya sesuai iman dan akidah islamiah.
Untuk tujuan itulah manusia harus di didik melalui proses pendidikan
Islam. Berdasarkan pandangan diatas pendidikan Islam berarti sistem pendidikan
yang dapat memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai
dengan cita-cita dan nilai-nilai Islam yang telah menjiwai dan mewarnai corak
kepribadiannya.
Dengan demikian pengertian pendidikan Islam adalah suatu sistem
kependidikan yang mencangkup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba
Allah, sebagaimana Islam telah menjadi pedoman bagi seluruh aspek kehidupan
manusia, baik duniawi maupun ukhrawi.
2.3
Fungsi Pendidikan
Fungsi pendidikan adalah menghilangkan segala sumber penderitaan rakyat
dari kebodohan dan ketertinggalan. Sedangkan menurut UUSPN No.20 tahun 2003
menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Secara umum fungsi lingkungan
pendidikan adalah membantu peserta didik dalam
interaksi dengan berbagai lingkungan sekitarnya, utamanya berbagai sumber daya
pendidikan yang tersedia, agar dapat mencapai tujuan pendidikan yang optimal.
Dilihat dari segi anak didik, tampak bahwa anak didik secara tetap hidup
di dalam lingkungan masyarakat tertentu tempat ia mengalami pendidikan. Menurut
Ki Hajar Dewantara lingkungan tersebut meliputi lingkungan keluarga, lingkungan
sekolah dan lingkungan masyarakat, yang disebut tripusat pendidikan.
1.
Keluarga
Keluarga
merupakan lembaga pendidikan tertua, bersifat informal, yang pertama dan utama
di alami oleh anak serta lembaga pendidikan yang bersifat kodrati orang tua
bertanggung jawab memelihara, merawat, melindungi, dan mendidik anak agar
tumbuh dan berkembang dengan baik.
2.
Sekolah
Tidak semua
tugas mendidik dapat dilaksanakan oleh orang tua dalam keluarga, terutama dalam
hal ilmu pengetahuan dan berbagai macam keterampilan. Oleh karena itu
dikirimkan anak ke sekolah. Sekolah
bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak selama mereka diserahkan kepadanya. Karena itu sebagai
sumbangan sekolah sebagai lembaga
terhadap pendidikan, diantaranya sebagai berikut;
·
Sekolah membantu orang tua
mengerjakan kebiasaan-kebiasaan yang baik serta
menanamkan budi pekerti yang baik.
·
Sekolah memberikan pendidikan
untuk kehidupan di dalam masyarakat yang
sukar atau tidak dapat diberikan di rumah.
·
Sekolah melatih anak-anak
memperoleh keterampilan seperti membaca,
menulis, berhitung, menggambar serta ilmu-ilmu lain sifatnya mengembangkan
kecerdasan dan pengetahuan.
·
Di sekolah diberikan pelajaran etika, keagamaan, estetika, membenarkan
benar atau salah, dan sebagainya.
3.
Masyarakat
Pendidikan yang
dialami dalam masyarakat ini, telah mulai ketika anak-anak untuk beberapa waktu
setelah lepas dari asuhan keluarga dan berada di luar dari pendidikan sekolah.
Dengan demikian, berarti pengaruh pendidikan tersebut tampaknya lebih luas.
Corak dan raga pendidikan yang dialami seseorang dalam masyarakat banyak
sekali, ini meliputi segala bidang, baik pembentukan kebiasaan-kebiasaan,
pembentukan pengertian-pengertian (pengetahuan), sikap dan minat, maupun
pembentukan kesusilaan dan keagamaan.
Manfaat
Pendidikan
Secara umum manfaat pendidikan berorientasi pada kecakapan hidup bagi
peserta didik adalah sebagai bekal dalam menghadapi dan memecahkan masalah
hidup dan kehidupan, baik sebagai pribadi yang mandiri, warga masyarakat,
maupun sebagai warga negara. Jika hal itu dapat dicapai, maka faktor
ketergantungan terhadap lapangan pekerjaan yang sudah ada dapat diturunkan,
yang berarti produktivitas nasional akan meningkat secara bertahap.
2.4
Konsep Pendidikan Dalam
Islam
Merujuk kepada informasi al-Qur’an pendidikan mencakup segala aspek jagat
raya ini, bukan hanya terbatas pada manusia semata, yakni dengan menempatkan
Allah sebagai Pendidik Yang Maha Agung. Konsep pendidikan al-Qur’an sejalan
dengan konsep pendidikan Islam yang dipresentasikan melalui kata tarbiyah,
ta’lim dan ta’dib.
Tarbiyah berasal dari kata Robba, pada hakikatnya merujuk kepada Allah
selaku Murabby (pendidik) sekalian alam. Kata Rabb (Tuhan) dan Murabby
(pendidik) berasal dari akar kata seperti termuat dalam ayat al-Qur’an:
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرا ً
Artinya: “Dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan
ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka
berdua telah mendidik aku waktu kecil". (Q.S. Al-Israa:24)
Menurut Syed Naquib Al-Attas, al-tarbiyah mengandung pengertian mendidik,
memelihara menjaga dan membina semua ciptaan-Nya termasuk manusia, binatang dan
tumbuhan (Jalaluddin, 2003: 115). Sedangkan Samsul Nizar menjelaskan kata
al-tarbiyah mengandung arti mengasuh, bertanggung jawab, memberi makan,
mengembangkan, memelihara, membesarkan, menumbuhkan dan memproduksi baik yang
mencakup kepada aspek jasmaniah maupun rohaniah (Samsul Nizar, 2001, 87).
Kata Rabb di dalam Al-Qur’an diulang sebanyak 169 kali dan dihubungkan
pada obyek-obyek yang sangat banyak. Kata Rabb ini juga sering dikaitkan dengan
kata alam, sesuatu selain Tuhan. Pengkaitan kata Rabb dengan kata alam tersebut
seperti pada surat Al-A’raf ayat 61:
قَالَ يَاقَوْمِ لَيْسَ بِي ضَلاَلَة ٌ وَلَكِنِّي رَسُول ٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Artinya: “Nuh
menjawab: Hai kaumku, tak ada padaku kesesatan sedikitpun tetapi aku adalah
utusan Tuhan semesta alam.”
Pendidikan diistilahkan dengan ta’dib, yang berasal dari kata kerja
“addaba” . Kata al-ta’dib diartikan kepada proses mendidik yang lebih tertuju
pada pembinaan dan penyempurnaan akhlak atau budi pekerti peserta didik (Samsul
Nizar, 2001: 90). Kata ta’dib tidak dijumpai langsung dalam al-Qur’an, tetapi
pada tingkat operasional, pendidikan dapat dilihat pada praktek yang dilakukan
oleh Rasulullah. Rasul sebagai pendidik agung dalam pandangan pendidikan Islam,
sejalan dengan tujuan Allah mengutus beliau kepada manusia yaitu untuk
menyempurnakan akhlak.
Allah juga menjelaskan, bahwa sesungguhnya Rasul adalah contoh teladan
bagi kamu sekalian.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَة ٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرا
Artinya:
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan
dia banyak menyebut Allah.”(Q.S. Al-Ahzab, 21)
Selanjutnya Rasulullah Saw meneruskan wewenang dan tanggung jawab
tersebut kepada kedua orang tua selaku pendidik kodrati. Dengan demikian status
orang tua sebagai pendidik didasarkan atas tanggung jawab keagamaan, yaitu
dalam bentuk kewajiban orang tua terhadap anak, mencakup memelihara dan
membimbing anak, dan memberikan pendidikan akhlak kepada keluarga dan
anak-anak.
Pendidikan disebut dengan ta’lim yang berasal dari kata ‘alama
berkonotasi pembelajaran yaitu semacam proses transfer ilmu pengetahuan. Dalam
kaitan pendidikan ta’lim dipahami sebagai sebagai proses bimbingan yang dititikberatkan
pada aspek peningkatan intelektualitas peserta didik (Jalaluddin, 2003: 133).
Proses pembelajaran ta’lim secara simbolis dinyatakan dalam informasi al-Qur’an
ketika penciptaan Adam As oleh Allah Swt. Adam As sebagai cikal bakal dari
makhluk berperadaban (manusia) menerima pemahaman tentang konsep ilmu
pengetahuan langsung dari Allah Swt, sedang dirinya (Adam As) sama sekali
kosong. Sebagaimana tertulis dalam surat al-Baqarah ayat 31 dan 32:
وَعَلَّمَ آدَمَ الأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَاؤُلاَء إِنْ كُنتُمْ صَادِقِينَ
Artinya: “Dan Dia mengajarkan
kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada
para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika
kamu memang orang-orang yang benar.”
قَالُوا سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
Artinya: “
Mereka menjawab, “Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa
yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah yang Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Dari ketiga konsep diatas, terlihat hubungan antara tarbiyah, ta’lim dan
ta’dib. Ketiga konsep tersebut menunjukkan hubungan teologis (nilai
tauhid) dan teleologis (tujuan) dalam pendidikan Islam sesuai al-Qur’an yaitu
membentuk akhlak al-karimah.
2.5
Sistem Pendidikan Dalam
Islam
Definisi sistem adalah seperangkat komponen
atau unsur-unsur yang saling berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan. Menurut
Roger A Kanfman definisi sistem adalah suatu totalitas yang tersusun dari
bagian-bagian yang bekerja secara sendiri-sendiri atau bersama-sama untuk
mencapai hasil atau tujuan yang diinginkan berdasarkan kebutuhan. Namun menurut
Mc Ashan sistem didefinisikan sebagai strategi yang menyeluruh atau rencana
diskomposisi oleh satu set elemen, yang harmonis, merepresentasikan kesatuan
unit, masing-masing elemen, yang mempunyai tujuan tersendiri yang semuanya
berkaitan terurut dalam bentuk yang logis. Berbeda lagi menurut Immegart, ia
mendefinisikan sistem adalah suatu keseluruhan yang memiliki bagian-bagian yang
tersusun secara sistematis, bagian-bagian itu terelasi antara satu dengan yang
lain, serta peduli terhadap konteks lingkungannya.
Ciri-Ciri Suatu Sistem dan Komponennya Suatu
teori sistem menurut Reja Mudyahardjo mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.
Keseluruhan adalah hal yang utama dan
bagian-bagian adalah hal yang kedua.
2.
Integrasi adalah kondisi saling hubungan
antara bagian-bagian dalam satu sistem.
3.
Bagian-bagian membentuk sebuah keseluruhan
yang tak dapat dipisisahkan.
4.
Bagian-bagian memainkan peran mereka dalam
kesatuannya untuk mencapai tujuan dari keseluruhan.
5.
Sifat bagian dan fungsinya dalam keseluruhan
dan tingkah lakunya diatur oleh keseluruhan terhadap hubungan-hubungan
bagiannya.
6.
Keseluruhan adalah sebuah sistem atau sebuah
kompleks atau sebuah konfigurasi dari energi dan berperilaku seperti sesuatu
unsur tunggal yang tidak kompleks.
7.
Segala sesuatu haruslah dimulai dari
keseluruhan sebagai suatu dasar, dan bagian-bagian serta hubungan-hubungan;
baru kemudian terjadi secara berangsur-angsur.
Bila diaplikasikan dalam sistem pendidikan
maka komponen-komponennya pendidikan seperti yang dikemukakan para pakar
sebagai berikut:
1.
Noeng Muhadjir membagi komponen sistem kepada
tiga kategori yaitu :
·
Bertolak dari lima unsur dasar pendidikan,
meliputi : yang memberi, yang menerima, tujuan, cara/jalan, dan konteks
positif.
·
Bertolak dari empat komponen pokok pendidikan,
yaitu kurikulum, subjek didik, personifikasi pendidik, dan konteks belajar
mengajar.
·
Bertolak dari tiga fungsi pendidikan , yaitu
pendidikan kreativitas, pendidikan moralitas, dan pendidikan prokduktivitas.
2.
Selanjutnya sumber lain menyebutkan terdapat
tiga unsur sistem :
·
Kegiatan pendidikan yang meliputi: pendidikan
diri sendiri, pendidikan oleh lingkungan, pendidikan oleh seseorang terhadap
orang lain.
·
Binaan pendidikan, mencakup: dasar, tujuan,
materi, metode, media, evaluasi, administrasi biasa, dana, dan sebagainya.
·
Tempat pendidikan, mencakup: rumah tangga,
sekolah, dan masyarakat.
Menurut Redja Mudyaharja, sistem tersebut ada yang tertutup
dan ada yang terbuka.
A.
Sistem Tertutup
Sistem
yang struktur organisasinya bagian-bagiannya tidak mudah menyesuaikan diri
dengan lingkungan, sekurang-kurangnya dalam jangka waktu pendek. Struktur
bagian-bagian tersusun secara tetap dan bentuk operasinya berjalan otomatis.
B.
Sistem Terbuka
Sistem
yang struktur bagian-bagiannya terus menyesuaikan diri dengan masukan dari
lingkungan yang terus-menerus berubah-ubah, dalam usaha dapat mencapai
kapasitas optimalnya. Struktur bagian-bagian bersifat lentur dan bentuk
operasinya yang dinamis, karena bagian-bagian dalam sistem dapat berubah
karakteristiknya dan posisinya.
Pendidikan Islam dalam satu sisi bisa
dikategorikan sebagai sistem tertutup karena ada prinsip-prinsip dasar dalam
sistem tersebut yang sudah baku yaitu al-Quran dan Hadis, tapi dalam sisi lain
sistem pendidikan Islam dikategorikan sebagai sistem terbuka karena dalam
perkembangannya selalu berkaitan erat dengan berbagai sistem dalam kehidupan
masyarakat, seperti sistem ekonomi, politik, sistem sosial budaya dari
masyarakat yang mempengaruhi sistem pendidikan Islam.
Sebagai sebuah Sistem, pendidikan Islam berbeda
dengan sistem pendidikan lainnya, bahkan lebih unggul daripada sistem
pendidikan non-Islam, sebab pendidikan Islam memiliki dua model, yaitu: (1)
model idealistis dan (2) model pragmatis.
·
Model Idealistis
Model idealistis adalah model yang lebih mengutamakan penggalian
sistem pendididkan Islam dari ajaran dasar Islam sendiri, yaitu al-Quran dan
Hadis yang mengandung prinsip-prinsip pokok berbagai aspek kehidupan, termasuk
aspek pendidikan. Menurut Azyumardi Azra, dasar-dasar pembentukan dan
pengembangan pendidikan Islam yang pertama dan utama adalah al-Quran dan
Sunnah. Model ini menggunakan pola deduktif, dengan membangun premis mayor yang
dikajidari nash. Bangunan premis mayor ini dijadikan sebagai “ kebenaran
universal dan mutlak “ untuk diterapkan pada premis minornya. Dari proses ini
akhirnya mendapatkan konklusi mengenai sistem pendidikan Islam.
·
Model Pragmatasi
Model pragmatasi adalah model yang lebih mengutamakan aspek pratktis
dan kegunaannya. Artinya, formulasi sistem pendidikan Islam itu diambil dari
sistem pendididkan kontemporer yang telah mapan. Apa saja yang terdapat pada
pendidikan kontemporer dapat dikembangkan dalam pendidikan Islam, selama tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar yang terdapat dalam al-Quran dan
Sunnah.
Model pragmatis
ini paling banyak diminati pakar pendidikan Islam. Di samping efektivitas dan
efisiensinya, model ini telah teruji ke-unggulanya. Sistem pendidikan Islam
yang dikembangkan melalui model ini memiliki posisi tersendiri bahkan mampu
menjadi alternatif bagi keberadaan sistem pendidikan kontemporer.
Tentunya terdapat perbedaan antara sistem pendidikan
Islam dengan sistem pendidikan non-islam, diantaranya:
§
Sistem Ideologi
Islam memiliki idiologi al-tauhid yang bersumber dari
al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan non-Islam memiliki berbagai macam ideologi yang
bersumber dari isme-isme materialis, komunis, ateis, sosialis, kapitalis, dan
sebagainya. Dengan begitu maka perbedaan kedua sistem tersebut adalah muatan
ideologi yang mendasarinya.
Apabila ide pokok ideologi Islam berupa al-tauhid,
maka setiap komponen dan tindakan sistem pendidikan Islam harus berdasarkan al-tauhid
pula makna tauhid bukan hanya sekedar meng-Esakan Tuhan seperti yang dipahami
oleh kaum monoteis, melainkan juga meyakinkan kesatuan penciptaan, kesatuan
kemanusiaan, kesatuan tujuan hidup. Dengan kerangka dasar al-tauhid ini
maka dalam pedidikan Islam tidak akan ditemui tindakan dualisme, dan sekuralis.
Sistem pendidikan Islam menghendaki adanya intergralistik yang menyatukan
kebutuhan dunia dan akhirat, jasmani dan rohani, materil dan spiritual,
individu dan sosial yang dijiwai dan dinafasi oleh roh tauhid.
§ Sistem Nilai
Pendidikan Islam bersumber dari nilai al-Qur’an
dan Sunnah, sedang pendidikan non-Islam bersumber dari nilai yang lain.
Formulasi ini relevan dengan kesimpulan di atas, sebab dalam ideologi Islam itu
bermuatan nilai-nilai dasar al-Qur’an dan Sunnah, sebagai sumber asal dan
ijtihad sebagai sumber tambahan. Pendidikan non-Islam sebenarnya ada juga
sumber nilainya, namun sumber nilainya hanya dari hasil pemikiran, hasil
penelitian para ahli, dan adat kebiasaan masyarakat. Dalam pendidikan Islam
nila-nilai yang diambil dalam al-Quran dan Sunnah tersebut diinternalisasi
kepada peserta didik melalui proses pendidikan.
§ Sistem Pendidikan
Pendidikan Islam berorientasi kepada
duniawi dan ukhrawi, sedangkan pendidikan non-Islam, orientasinya duniawi
semata. Di dalam Islam kehidupan akhirat merupakan kelanjutan dari kehidupan
dunia, bahkan satu mutu kehidupan akhirat konsekuensi dari mutu kehidupan
dunia. Segala perbuatan muslim dalam bidang apapun memiliki kaitannya dengan
akhirat.
Berdasarkan hal
tersebut pendidikan Islam berfungsi untuk menghasilkan manusia yang dapat
menempuh kehidupan yang indah di dunia maupun di akhirat serta terhindar dari
siksaan Allah yang maha pedih. Berbeda dengan pendidikan Barat yang bertolak dari filsafat pragmatisme,
yaitu yang mengukur kebenaran menurut kepentingan waktu, tempat dan situasi,
dan berakhir pada garis hayat. Fisafat ilmunya adalah kegunaan/utilitas. Fungsi
pendidikan tidaklah sampai untuk menciptakan manusia yang dapat menempuh
kehidupan yang indah di akhirat, akan tetapi terbatas pada kehidupan duniawiyah
semata.
Prinsip-Prinsip Sistem Pendidikan Islam
Dasar pendidikan Islam seperti yang dikemukakan
oleh Ahmad D. marimba, adalah Al Quran dan Hadis Nabi yang merupakan sumber
pokok ajaran Islam. Al-Syaibani memperluas lagi dasar tersebut mencakup
ijtihad, pendapat, peninggalan, keputusan-keputusan dan amalan-amalan para
ulama yang terdahulu di kalangan umat Islam. Prinsip
pendidikan Islam juga ditegakkan di atas dasar yang sama dan berpangkal dari
pandangan Islam secara filosofis terhadap jagad raya, manusia, masyarakat, ilmu
pengetahuan dan akhlak.
1.
Prinsip Pendidikan Islam Merupakan Implikasi Dari Karakteristik Manusia
Menurut Islam
Implikasi dalam pendidikan adalah bahwa pencapaian tujuan pendidikan
Islam faktor peserta didik merupakan hal mutlak yang perlu diperhatikan. Supaya
seorang pendidik berhasil dalam pendidikannya maka harus ada konsep yang jelas
tentang karakter fitrahnya, walaupun kita mengakui peranan lingkungan dalam
akan tetapi lingkungan bukan satu-satunya faktor yang paling menentukan. Fitrah
manusia juga memerlukan keseimbangan dalam rangka memperkuat hubungan manusia
dengan sesama. Oleh karena itu diperlukan pendekatan Qur’ani sedangkan
pendekatan empirik dan rasional falsafi hanya di perlukan sebagai jalan untuk
memahami wahyu yang kebenaranya bersifat absolut.
2.
Prinsip Pendidikan Islam adalah Pendidikan
Integral dan Terpadu
Pendidikan Islam tidak mengenal adanya pemisahan antara sains dan
agama. Penyatuan antara kedua sistem pendidikan adalah tuntutan akidah
Islam.implikasi dalam pendidikan adalah bahwa dalam pendidikan Islam tidak
dibenarkan adanya dikotomi pendidikan yaitu antara pendidikan agama dengan
pendidikan sains. Para pendidik harus dapat memaham Islam sebagai a total
way of life yang dapat mengatur berbagai aspek kehidupan manusia. Kalau
dikotomi itu tidak dapat di hindari, minimal seorang pendidik harus dapat
melakukan perubahan orientasi mengenal konsep “ilmu” yang secara langsung
dikaitkan dengan dalil keagamaan, dan sebaliknya ajaran agama dikorelasikan
dengan ilmu pengetahuan sehingga wawasan peserta didik anak didik nyatu dalam
agama dan ilmu pengetahuan.
3. Prinsip
Pendidikan Islam adalah Pendidikan yang Seimbang
Pandangan Islam yang menyeluruh
terhadap semua aspek kehidupan mewujudkan adanya keseimbangan. Ada beberapa
prinsip keseimbangan yang mendasari pendidikan Islam yaitu :
- Keseimbangan antara kehidupan duniawi dan ukhrawi
Kemajuan yang ingin dicapai dalam pendidikan Islam tidaklah
diukur dengan penguasaan atau supremasi atas segala kepentingan duniawi saja
akan tetapi sampai dimana kehidupan duniawi memberikan aset untuk kehidupan di
akhirat kelak.
- Keseimbangan antara jasmani dan rohani
Pendidikan Islam memperhatikan perbedaan fisik dan psikis
seorang sebagai salah satu faktor yang harus di pertimbangkan dalam menyusun
program kependidikan. Prinsip ini didasarkan atas pandangan filosofis bahwa
tujuan pendidikan pada hakekatnya adalah untuk menumbuh kembangkan aspek fisik
dan psikis anak. Kenyataan menunjukan bahwa ada perbedaan potensi yang dibawa
oleh anak dalam kedua aspek tersebut. Oleh karena itu pendidikan Islam bertanggung
jawab dalam pertimbangan setiap individu anak sesuai dengan tabiat
masing-masing.
- Keseimbangan antara individu dan masyarakat
Dalam segi lain pendidikan Islam berusaha pula mengembangkan
aspek kemasyarakatan berupa kasih mengasihi, hormat menghormati sesama mulim.
Implikasi dalam pendidikan
adalah bahwa dalam pembentukan kepribadian yang harmonis sebagai tujuan akhir
pendidikan Islam prinsip keseimbangan harus diperhatikan. Kepribadian yang
harmonis kalau segala aspek-aspeknya bekerja seimbang. Faktor yang mempengaruhi
pembentukan kepribadian seperti lingkungan masyarakat, alam sekitar,
kebudayaan, dimana anak didik itu berada ditambah dengan faktor anak didik itu
sendiri.
4.
Prinsip Pendidikan Islam adalah Pendidikan yang Universal
Prinsip ini maksudnya adalah pandangan yang menyeluruh pada seluruh
aspek kehidupan manusia. Agama Islam yang menjadi dasar pendidikan Islam itu
bersifat menyeluruh terhadap wujud, alam jagad, dan hidup. Tujuannya adalah
untuk menumbuhkan, mengembangkan, dan membangun segala aspek kepribadian
manusia dan segala potensi dan dayanya. Juga mengembangkan segala segi
kehidupan dalam masyarakat, seperti social budaya, ekonomi, politik, dan
berusaha turut serta menyelesaikan masalah-masalah masyarakat kini dan bersiap
menghadapi tuntutan masa depan dan memelihara sejarah dan kebudayaan. Implikasi dalam pendidikan adalah bahwa pendidikan Islam
haruslah meliputi seluruh dimensi kehidupan manusia dan tidak boleh hanya
memberi penekanan hanya kepada satu dimensi saja dan meninggal kan dimensi yang
lainnya.
5.
Prinsip Pendidikan Islam adalah Pendidikan yang Dinamis
Pendidikan Islam dalam prinsip ini tidak statis dalam
tujuan materi, kurikulum media, dan metodenya, akan tetapi ia selalu membaharui
diri dan berkembang. Ia memberikan respon terhadap kebutuhan-kebutuhan
masyarakat sesuai dengan perkembangan dan perubahan sosial yang tidak
bertentangan dengan ajaran Islam. Implikasi dalam pendidikan Islam terlihat
pada saat pendidikan Islam memberikan respon terhadap pembangunan yang sesuai
dengan kebutuhan masyarakat. Dalam hubungan ini kita dapat melihat misalnya
pada perkembangan dunia pesanren yang dahulu hanya bercorak salafiyah, namun
kini sudah bervariasi.
2.6
Tujuan Pendidikan Dalam
Islam
Tujuan pendidikan Islam di tempuh secara
bertingkat, misalnya tujuan intermediair (sementara), yang dijadikan
batas sasaran kemampuan yang harus dicapai dalam proses pendidikan pada tingkat
tertentu, untuk mencapai akhir.
Tujuan insidential merupakan peristiwa tertentu
yang tidak direncanakan, akan tetapi dapat dijadikan sasaran dari proses
pendidikan pada tingkat tertentu. Misalnya, peristiwa meletusnya gunung berapi
dapat dijadikan sasaran pendidikan yang mengandung tujuan tertentu, yaitu
memotivasi kemampuan anak didik untuk memahami arti kekuasaan Tuhan yang harus
diyakini kebenaranya. Tahap kemampuan ini menjadi bagian dari tujuan antara
untuk mencapi tujuan akhir pendidikan.
Bila dilihat dari pendekatan sistem
instruksional tertentu pendidikan Islam bisa dibagi dalam beberapa tujuan,
yaitu sebagai berikut :
1.
Tujuan instruksional khusus (TIK), diarahkan
pada setiap bidang studi yang harus dikuasai dan diamalkan oleh anak didik.
2.
Tujuan instruksional umum (TIU), diarahkan
pada penguasaan atau pengamalan suatu bidang studi secara umum atau garis
besarnya sebagai suatu kebulatan.
3.
Tujuan kulikurer, yang ditetapkan untuk
mencapai melalui garis-garis besar program pengajaran di tiap institusi
pendidikan.
4.
Tujuan institusional, adalah tujuan yang harus
dicapai menurut program pendidikan ditiap sekolah atau lembaga pendidikan
tertentu secara bulat seperti tujuan institusional SLTP/SLTA.
5.
Tujuan umum atau tujuan nasional, adalah
cita-cita hidup yang ditetapkan untuk mencapai melalui proses kependidikan
dengan berbagai cara atau sistem, baik sistem formal, sistem nonformal, maupun
sistem informal.
Demikian pula dalam
proses kepribadian Islam, bahwa penetapan tujuan akhir itu mutlak di perlukan
dalam rangka mengarahkan segala proses, sejak dari perencanaan program sampai
dengan pelaksanaannya, agar tetap konsisten dan tidak mengalami deviasi.
Rumusan-rumusan tujuan
akhir pendidikan Islam telah disusun oleh para ulama dan ahli pendidikan Islam
dari semua golongan dan mazhab dalam Islam, misalnya sebagai berikut.
1.
Rumusan yang ditetapkan dalam kongres sedunia
tentang pendidikan Islam. Rumusan tersebut menunjukan bahwa pendidikan Islam
mempunyai tujuan yang luas dan dalam. Seluas dan sedalam kebutuhan hidup
manusia sebagai makhluk individual dan sebagai makhluk sosial yang dijiwai oleh
nilai-nilai ajaran agama. Oleh karena itu, pendidikan Islam bertujuan untuk
menumbuhkan pola kepribadian manusia yang bulat melalui latihan kejiwaan,
kecerdasan otak, penalaran, perasaan, dan indra. Pendidikan harus melayani pertumbuhan
manusia dalam semua aspek, baik aspek spiritual,intelektual, imajinasi,
jasmaniah, ilmiah maupun bahasanya. Pendidikan tersebut harus mendorong semua
aspek kearah keutamaan serta pencapaian kesempurnaan hidup.
2.
Rumusan yang lain adalah hasil keputusan seminar pendidikan Islam
se-Indonesia tanggal 7 sampai dengan tanggal 11 Mei 1960, di Cipayung, Bogor.
“Tujuan pendidikan Islam adalah menampakan takwa dan akhlak
serta menegakkan kebenaran dalam rangka membentuk manusia yang berpribadi dan
berbudi luhur menurut ajaran Islam.“ Tujuan tersebut
di tetapkan berdasarkan atas pengertian bahwa: “pendidikan Islam adalah
bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan
hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh, dan mengawasi berlakunya
semua ajaran Islam.
3.
Adanya rumusan lain tentang pendidikan Islam oleh Prof. Dr. Omar
Muhammad al-Toumy al-Syaebani sebagai berikut.
“Tujuan pendidikan ialah perubahan yang diingini, yang
diusahakan dalam proses pendidikan atau usaha pendidikan untuk mencapinya, baik
pada tingkah laku individu dari kehidupan pribadinya atau kehidupan masyarakat
serta pada alam sekitar dimana individu itu hidup atau pada proses pendidikan
itu sendiri dan proses pengajaran sebagai suatu kegiatan asasi dan sebagai
proporsi di antara profesi asasi dalam masyarakat.”
Menurut tugas dan
fungsi manusia secara filosofis, tujuan pendidikan bisa dibedakan sebagai
berikut.
·
Tujuan individu yang menyangkut individu,
melalui proses belajar dengan tujuan mempersiapkan dirinya dalam kehidupan
dunia dan akhirat.
·
Tujuan sosial yang berhubungan dengan
kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan, dan dengan tingkah laku masyarakat
umumnya serta dengan perubahan-perubahan yang diinginkan pada pertumbuhan
pribadi, pengalaman dan kemajuan hidupnya.
·
Tujuan profesional yang menyangkut pengajaran
sebagai ilmu, seni, dan profesi serta sebagai suatu kegiatan dalam masyarakat.
Oleh karena itu tujuan
pendidikan pada hakikatnya merupakan cita–cita mewujudkan nilai-nilai maka
filsafat pendidikanlah yang memberikan dasar dan corak serta arah tujuan
pendidikan itu sendiri. Dalam rangka proses penyampaiannya, filsafat pendidikan
berfungsi sebagai kolektor terhadap kesalahan atau penyimpangan-penyimpangan
yang terjadi, sehingga memungkinkan proses tersebut dapat berfungsi kembali
dalam jalur tujuannya.
Dalam pelaksanaan tujuan tersebut dapat dibedakan dalam dua
macam tujuan, yaitu sebagai berikut.
1.
Tujuan operasional
Yaitu tujuan yang dicapai menurut program yang telah ditentukan atau
di tetapkan dalam kurikulum. Produk kependidikan belum siap dipakai di lapangan
karena masih memerlukan latihan keterampilan tentang bidang keahlian yang
hendak diterjuni.
2.
Tujuan fungsional
Yaitu tujuan yang hendak di capai menurut kegunaannya, baik dari
aspek teoritis maupun aspek praktis. Produk kependidikan telah mencapai
keahlian teoritis ilmiah dan juga kemampuan/keterampilan yang sesuai dengan
bidangnya, bilamana dapat menghasilkan anak didik yang memiliki kemampuan
praktis atau teknis operasional. Artinya anak didik sudah siap dipakai dalam
bidang keahlian yang dituntut oleh dunia kerja dan lingkungannya.
2.7
Komponen Dalam
Pendidikan
Komponen merupakan
bagian dari suatu sistem yang meiliki peran dalam keseluruhan berlangsungnya
suatu proses untuk mencapai tujuan sistem. Komponen pendidikan berarti
bagian-bagian dari sistem proses pendidikan, yang menentukan berhasil dan
tidaknya atau ada dan tidaknya proses pendidikan. Bahkan dapat diaktan bahwa
untuk berlangsungnya proses kerja pendidikan diperlukan keberadaan
komponen-komponen tersebut.
Komponen-komponen
yang memungkinkan terjadinya proses pendidikan atau terlaksananya proses
mendidik minimal terdiri dari 4 komponen, yaitu 1) tujuan pendidikan, 2)
peserta didik, 3) pendidik, 4) isi pendidikan dan 5) konteks yang mempengaruhi
suasana pendidikan. Berikut akan diuraikan satu persatu komponen-komponen
tersebut.
1. Tujuan Pendidikan
Sebagai ilmu pengetahuan praktis,
tugas pendidikan dan atau pendidik maupun guru ialah menanamkam sistem-sistem
norma tingkah-laku perbuatan yang didasarkan kepada dasar-dasar filsafat yang
dijunjung oleh lembaga pendidikan danpendidik dalam suatu masyarakat .
Adapun tujuan pendidikan Islam itu sendiri identik dengan tujuan Islam sendiri. Tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang berpribadi muslim kamil serta berdasarkan ajaran Islam. Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah QS. Ali Imran ayat 102. Mengenai tujuan pendidikan, menurut Klaus Mollenhaver yang memunculkan “Teori Interaksi” menyatakan bahwa “di dalam pendidikan itu selalu ada (dijumpai) mengenai masalah tujuan pendidikan”.
Adapun tujuan pendidikan Islam itu sendiri identik dengan tujuan Islam sendiri. Tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang berpribadi muslim kamil serta berdasarkan ajaran Islam. Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah QS. Ali Imran ayat 102. Mengenai tujuan pendidikan, menurut Klaus Mollenhaver yang memunculkan “Teori Interaksi” menyatakan bahwa “di dalam pendidikan itu selalu ada (dijumpai) mengenai masalah tujuan pendidikan”.
2. Peserta Didik
Sehubungan dengan persoalan anak didik
disekolah Amstrong 1981 mengemukakan beberapa persoalan anak didik yang harus
dipertimbangkan dalam pendidikan. Persoalan tersebut mencakup apakah latar
belakang budaya masyarakat peserta didik ? bagaimanakah tingkat kemampuan anak
didik? hambatan-hambatan apakah yang dirasakan oleh anak didik disekolah? dan
bagaimanakah penguasaan bahasa anak di sekolah? Berdasarkan persoalan tersebut
perlu diciptakan pendidikan yang memperhatikan perbedaan individual, perhatian
khusus pada anak yang memiliki kelainan, dan penanaman sikap dan tangggung
jawab pada anak dididk.
3. Pendidik
Salah satu komponen penting dalam
pendidikan adalah pendidik. Terdapat beberapa jenis pendidik dalam konsep
pendidikan sebagai gejala kebudayaan, yang tidak terbatas pada pendidikan sekolah
saja.. Guru sebagai pendidik dalam lembaga sekolah, orang tua sebagai pendidik
dalam lingkungan keluarga, dan pimpinan masyarakat baik formal maupun informal
sebagai pendidik dilingkungan masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut diatas Syaifullah
(1982) mendasarkan pada konsep pendidikan sebagai gejala kebudayaan, yang
termasuk kategori pendidik adalah orang dewasa, orang tua, guru/pendidik, dan
pemimpin kemasyarakatan, dan pemimpin keagamaan.
4.
Isi Pendidikan
Isi pendidikan memiliki kaitan yang erat dengan
tujuan pendidikan. Untuk mencapai tujuan pendidikan perlu disampaikan kepada
peserta didik isi/bahan yang biasanya disebut kurikulum dalam pendidikan
formal. Isi pendidikan berkaitan dengan tujuan pendidikan, dan berkaitan dengan
manusia ideal yang dicita-citakan. Untuk mencapai manusia yang ideal yang
berkembang keseluruhan sosial, susila dan individu sebagai hakikat manusia
perlu diisi dengan bahan pendidikan. Macam-macam isi pendidikan tersebut
terdiri dari pendidikan agama., pendidikan moril, pendidikan estetis,
pendidikan sosial, pendidikan civic, pendidikan intelektual, pendidikan
keterampilan dan peindidikan jasmani.
5.
Konteks yang
Memepengaruhi Suasana Pendidikan
a) Lingkungan
Lingkungan pendidikan meliputi segala
segi kehidupan atau kebudayaan. Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa
pendidikan sebagai gejala kebudayaan, yang tidak membatasi pendidikan pada
sekolah saja. Lingkungan pendidikan dapat dikelompokkan berdasarkan lingkungan
kebudayaan yang terdiri dari lingkungan kurtural ideologis, lingkungan sosial
politis, lingkungan sosial.
b) Sarana
Sarana atau media pendidikan berguna
untuk membantu dalam proses pendidikan sehingga sesuai dengan apa yang
diharapkan.
c) Metode
Metode dimaksudkan sebagai jalan dalam
sebuah transfer nilai pendidikan oleh pendidik kepada peserta didik. Oleh
karena itu pemakaian metode dalam pendidikan Islam mutlak dibutuhkan.
d)
Sistem/Kurikulum
Sistem pembelajaran yang baik akan
semakin menambah peluang untuk berhasilnya sebuah pendidikan.
Keseluruhan komponen-komponen tersebut
merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan dalam proses pendidikan untuk
mencapai tujuan pendidikan.
Komponen Pelaksanaan
Kelompok komponen-komponen pelaksanaan pendidikan, mencakup materi pendidikan, sistem penjenjangan, sistem penyampaian, proses pelaksanaan, dan pemanfaatan lingkungan.
1. Materi pendidikan
Siswa belajar
dalam bentuk interaksi dengan lingkungannya dalam rangka mencapai tujuan
pendidikan. Sebagai perantara mencapai tujuan pembelajaran yang telah
ditentukan, diperlukan bahan ajar atau materi pendidikan. Materi pendidikan
tersusun atas topik-topik dan sub topik tertentu.
Kenyataan
menunjukkan bahwa banyak sekali tuntutan yang harus dipenuhi lembaga pendidikan
pada umumnya, begitu pula Islam, sedangkan waktu yang tersedia terbatas.
Sehingga dalam hal ini, menjadi penting menyeleksi materi pendidikan.
Dalam rangka
memilih materi pendidikan, Hilda Taba mengemukakan beberapa kriteria
diantaranya: (1) harus valid dan signifikan, (2) harus berpegang pada realitas
sosial, (3) kedalam dan keluasannya harus seimbang, (4) menjangkau tujuan yang
luas, (5) dapat dipelajari dan disesuaikan dengan pengalaman siswa, dan (6)
harus dapat memenuhi kebutuhan dan menarik minat peserta didik (Ghofir, 1993:
37-38).
Islam dengan Al
Qur’annya menurut Abdurrahman Saleh Abdullah dipandang sebagai landasan
pendidikan Islam yang prinsipnya hendak menyatukan mata pelajaran yang
bermacam-macam. Tidak ada klasifikasi mata pelajaran umum dan agama, dimana
semua materi termasuk ilmu alam harus diajarkan menurut pandangan Islam.
Untuk mencapai
materi pendidikan seperti yang diinginkan ini, paling tidak yang perlu
diperhatikan dalam rangka pengembangannya adalah jenis materi, ruang lingkup
materi, klasifikasi materi, sekuensi materi, serta sumber acuannya.
2. Sistem Penyampaian
Sistem penyampaian
merupakan sistem atau strategi yang digunakan dalam menyampaikan materi
pendidikan yang telah dirumuskan. Sistem penyampaian ini paling minim berkaitan
dengan metode yang digunakan dalam menyampaikan materi, serta pendekatan
pembelajaran. Ketika guru menyusun materi pendidikan, secara otomatis ia juga
harus memikirkan strategi yang sesuai untuk menyajikan materi pendidikan
tersebut.
Sementara itu
Muhaimin (2003: 184) mengidentifikasi bahwa sistem pengampaian ini mencakup
beberapa hal pokok, yaitu: strategi dan pendekatannya, metode pengajarannya,
pengaturan kelas, serta pemanfaatan media pendidikan.
Metode misalnya,
ia ikut menentukan efektif atau tidaknya proses pencapaian tujuan pendidikan.
Semakin tepat metode yang digunakan, akan semakin efektif proses pencapaian
tujuan pendidikan tersebut. Sehingga dalam hal ini terlihat betapa pentingnya
pengetahuan tentang metode bagi seorang guru. Bagi Ahmad Tafsir, pengetahuan
tentang metode mengajar yang terpenting adalah pengetahuan tentang cara
menyusun urutan kegiatan belajar mengajar dalam rangka pencapaian tujuan
(Tafsir, 1999: 34).
3. Proses belajar mengajar (pelaksanaan)
Proses pelaksanaan
belajar mengajar dalam pendidikan Islam secara umum dilaksanakan dengan lebih
banyak mengacu kepada bagaimana seorang peserta didik belajar selain kepada apa
yang dipelajari. Sehingga memungkinkan terjadinya interaksi antara peserta
didik dengan guru, sesama peserta didik, dan peserta didik dengan
lingkungannya.
Beberapa hal yang
perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan belajar mengajar antara lain adalah
pola atau pendekatan belajar-mengajar yang digunakan, intensitas dan
frekuensinya, model interaksi pendidik-peserta didik , dan / atau antar
peserta didik di dalam dan di luar kegiatan belajar mengajar, serta pengelolaan
kelas, serta penciptaan suasana betah di sekolah.
4. Pemanfaatan lingkungan sebagai sumber
belajar
Dalam pendidikan
Islam, sangat diperlukan adanya pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar.
Lingkungan tersebut bisa lingkungan sekolah maupun luar sekolah dalam rangka
mencapai tujuan pendidikan. Kalau di lingkungan sekolah, siswa dapat belajar
dari guru dan sesama temannya, maka di lingkungan luar sekolah juga demikian
halnya.
Pemanfaatan lingkungan
masyarakat sebagai sumber belajar bisa dilakukan dengan cara: melakukan kerja
sama dengan orang tua murid, membawa sumber dari luar ke dalam kelas, membawa
siswa ke masyarakat, dan sebagainya.
Komponen Pelaksana dan pendukung kurikulum
1. Komponen pendidik
Dalam perspektif
pendidikan Islam, seorang guru biasa disebut sebagai ustadz, mu’allim,
murabby, mursyid,mudarris, dan mu’addib (Muhaimin, 2003: 209-213).
Sebagai ustadz, ia dituntut untuk komitmen terhadap profesionalisme
dalam mengemban tugasnya yaitu menyiapkan generasi penerus yang akan hidup pada
zamannya di masa depan. Sebagai mu’allim ia dituntut mampu mengajarkan
kandungan ilmu pengetahuan dan al hikmah atau kebijakan dan kemahiran
melaksanakan ilmu pengetahuan itu dalam kehidupan yang mendatangkan manfaat dan
semaksimal mungkin menjauhi madlarat. Sebagai murabby, guru
dituntut menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi, sekaligus mengatur dan
memelihara hasil kreasinya agar tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya,
masyarakat, dan alam sekitarnya. Guru sebagai mursyid dituntut
menularkan penghayatan (transinternalisasi) akhlaq dan/atau
kepribadiannya pada peserta didik, baik itu berupa etos ibadah, etos kerja,
etos belajar, maupun dedikasinya, atau dalam pengertian yang lebih semple
seorang guru harus merupakan “model” atau pusat anutan, teladan bagi peserta
didik. Sementara sebagai mudarris guru bertugas mencerdaskan peserta
didiknya, menghilangkan ketidaktahuan atau memberantas kebodohan mereka, serta
melatih ketrampilan peserta didik sesuai bakat, minat, dan kemampuannya.
Sebagai mu’addib, seorang guru memliki peran dan fungsi untuk membangun
peradaban (civilization) yang berkualitas di masa yang akan datang.
Sedangkan dalam
perspektif humanisme religius, secara konvensional guru paling tidak harus
memiliki tiga kualifikasi dasar, yaitu menguasai materi, antusiasme, dan penuh
kasih sayang (loving) dalam mengajar dan mendidik (Abdurrahman Mas’ud,
2002: 194).
Dilihat dari segi
aktualisasinya, pendidikan merupakan proses interaksi antara guru (pendidik)
dengan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan. Pekerjaan mendidik
merupakan pekerjaan profesional, sehingga guru sebagai pelaku utama pendidikan
merupakan pendidik profesional. Peranan guru sebagai pendidik profesional
akhir-akhir ini dipertanyakan eksistensinya, akibat munculnya serangkaian
fenomenalulusan pendidikan yang secara moral cenderung merosot dan secara
intelektual akademik juga kurang siap memasuki lapangan kerja (Abuddin Nata,
2003: 136).
Kalau fenomena
tersebut benar adanya, maka baik langsung maupun tidak langsung akan terkait
dengan peranan guru sebagai pendidik profesional. Sehingga sejalan dengan hal
tersebut terkait dengan masalah pendidik sebagai komponen kurikulum
pendidikan, perlu diperhatikan beberapa hal yaitu: kode etik guru/pendidik,
kualifikasinya, pengembangan tenaga pendidik, placement, imbalan atas
kesejahteraan, dan sebagainya.
2. Peserta didik
Banyak sebutan di
sekitar kita mengenai peserta didik ini. Ada yang menyebut murid, siswa,
santri, anak didik dan berbagai sebutan lainnya. Murid misalnya, secara
terminologi dapat diartikan sebagai orang yang sungguh-sungguh mencari ilmu
dengan mendatangu guru. Sedangkan dalam pendidikan Islam, ketika dihadapkan
pada orang yang meguru kepada seorang guru, maka melahirkan konsep
“santri kelana”. Istilah santri kalau berasal dari kata cantrik lebih
pas dengan pendidikan Islam. Karena di padepokan, seorang cantrik pasti
patuh pada sang guru.
Dalam pendidikan
Islam, beberapa hal yang perlu dikembangkan terkait dengan komponen peserta
didik (input) antara lain adalah persyaratan penerimaan (rekrutmen) siswa baru.
Selain itu juga perlu diperhatikan mengenai rumusan tentang kualitas output
peserta didik yang diinginkan, akan dibawa ke mana anak didiknya harus secara
jelas dan tegas dirumuskan.
Kemudian yang juga
perlu mendapatkan perhatian adalah jumlah peserta didik yang diinginkan, karena
ini akan berkaitan erat dengan kapasitas sarana pendidikan yang dimiliki oleh
sebuah lembaga pendidikan Islam. Dan tak kalah pentingnya adalah latar belakang
peserta didik, baik itu mengenai pendidikannya, sosialnya, budayanya,
pengalaman hidupnya, potensi, minat, bakat, dan lainnya.
3. Komponen bimbingan dan konseling
Bimbingan dan
penyuluhan adalah terjemahan dari bahasa Inggris guidance (bimbingan)
dan counseling (penyuluhan). Bimbingan mengandung pengertian proses
pemberianbantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan, supaya
individu dapat memahami dirinya sehingga sanggup mengarahkan dirinya dan dapat
bertindak secara wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan lingkungan sekolah,
keluarga, dan masyarakat (Natawidjaja, 1987: 7). Sedangkan konseling merupakan
bantuan yang diberikan kepada klien dalam memecahkan masalah kehidupan dengan
wawancara face to face atau yang sesuai dengan keadaan klien yang
dihadapi untuk mencapai kesejahteraan hidupnya (Sukardi, 2003: 67).
Sedangkan
bimbingan dan konseling dalam pendidikan Islam merupakan proses pengajaran dan
pembelajaran psikososial yang berlaku dalam bentuk tatap muka antara konselor
dengan peserta didik, dalam rangka antara lain memperkembangkan pengertian dan
pemahaman pada diri siswa untuk mencapai kemajuan di sekolah. Pelaksanaan
bimbingan dan konseling dalam pendidikan akan efektif dan berhasil apabila
dilaksanakan atau dilakukan oleh suatu tim kerja (team work). Kemudian
tim kerja inilah kemudian yang akan menyusun program perencanaan kegiatan
bimbingan dan konseling di lembaga pendidikan.
Program
perencanaan kegiatan bimbingan dan konseling perlu disusun agar upaya kegiatan
layanan bimbingan di sekolah benar-benar berdaya guna dan berhasil guna, serta
mengena pada sasarannya sebagai sarana pencapaian tujuan pendidikan (Sukardi,
2003: 7).
Selain itu dalam
kegiatan bimbingan dan konseling perlu diperhatikan pula strategi
pendekatannya, jenis program dan layanannya, proses layanan serta termasuk di
dalamnya teknik bimbingan dan konselingnya Islam sangat mementingkan pendidikan.
Dengan pendidikan yang benar dan berkualitas,
individu-individu yang beradab akan terbentuk yang akhirnya memunculkan
kehidupan sosial yang bermoral.
Sayangnya,
sekalipun institusi-institusi pendidikan saat ini memiliki kualitas dan
fasilitas, namun institusi-institusi tersebut masih belum memproduksi
individu-individu yang beradab. Sebabnya, visi dan misi pendidikan yang
mengarah kepada terbentuknya manusia yang beradab, terabaikan dalam tujuan
institusi pendidikan. Penekanan kepada pentingnya anak didik supaya hidup
dengan nilai-nilai kebaikan, spiritual dan moralitas seperti terabaikan. Bahkan
kondisi sebaliknya yang terjadi.
Saat ini, banyak
institusi pendidikan telah berubah menjadi industri bisnis, yang memiliki
visi dan misi yang pragmatis. Pendidikan diarahkan untuk melahirkan
individu-individu pragmatis yang bekerja untuk meraih kesuksesan materi dan
profesi sosial yang akan memakmuran diri, perusahaan dan Negara. Pendidikan
dipandang secara ekonomis dan dianggap sebagai sebuah investasi. “Gelar”
dianggap sebagai tujuan utama, ingin segera dan secepatnya diraih supaya modal
yang selama ini dikeluarkan akan menuai keuntungan. Sistem pendidikan seperti
ini sekalipun akan memproduksi anak didik yang memiliki status pendidikan yang
tinggi, namun status tersebut tidak akan menjadikan mereka sebagai individu-individu
yang beradab.
Pendidikan yang
bertujuan pragmatis dan ekonomis sebenarnya merupakan pengaruh dari paradigma
pendidikan Barat yang sekular. Dalam budaya Barat sekular, tingginya pendidikan
seseorang tidak berkorespondensi dengan kebaikan dan kebahagiaan individu yang
bersangkutan. Dampak dari hegemoni pendidikan Barat terhadap kaum Muslimin
adalah banyaknya dari kalangan Muslim memiliki pendidikan yang tinggi, namun
dalam kehidupan nyata, mereka belum menjadi Muslim-Muslim yang baik dan
berbahagia. Masih ada kesenjangan antara tingginya gelar pendidikan yang diraih
dengan rendahnya moral serta akhlak kehidupan Muslim. Ini terjadi disebabkan
visi dan misi pendidikan yang pragmatis.
Sebenarnya, agama Islam
memiliki tujuan yang lebih komprehensif dan integratif dibanding dengan sistem
pendidikan sekular yang semata-mata menghasilkan para anak didik yang memiliki
paradigma yang pragmatis.
2.8
Peranan Guru Dalam
Pendidikan
Pembaharuan sistem
pendidikan nasional dicirikan dengan dirumuskannya beberapa prinsip,
diantaranya bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan
serta tidak diskriminatif, dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai
keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Profesionalisasi
guru meliputi berbagai upaya agar guru berperan sebagai spiritual father bagi
anak didik yang memberikan santapan rohani dengan ilmu dan pembinaan akhlak,
berfungsi sebagai pengajar, pendidik, pembimbing dan pemimpin, dan memiliki
karakter keguruan yang senantiasa bergairah, menumbuhkan bakat dan sikap,
mengatur proses belajar, memperhatikan perubahan, dan menjalin hubungan
manusiawi.
Selain itu, seorang guru senantiasa harus lebih
pendekatan kepada anak didiknya, semua ini agar guru itu bisa lebih mengetahui
kelebihan dan kekurangan dari anak didik tersebut. Proses belajar mengajar
tidak akan terjalin sempurna jika di dalamnya tidak ada alat. Alat disini
berupa laptop, whiteboard, atau alat lainnya yang dapat digunakan agar anak
didiknya dapat merekam dan lebih memahami tentang materi apa yang dipelajarinya
tersebut.
Efektivitas dan efisien belajar individu di
sekolah sangat bergantung kepada peran guru. Abin Syamsuddin (2003)
mengemukakan bahwa dalam pengertian pendidikan secara luas, seorang guru yang
ideal dapat berperan sebagai :
1.
Konservator (pemelihara) sistem nilai yang
merupakan sumber norma kedewasaan;
2.
Inovator (pengembang) sistem nilai ilmu
pengetahuan;
3.
Transmitor (penerus) sistem-sistem nilai
tersebut kepada peserta didik;
4.
Transformator (penerjemah) sistem-sistem nilai
tersebut melalui penjelmaan dalam pribadinya dan perilakunya, dalam proses
interaksi dengan sasaran didik;
5.
Organisator (penyelenggara) terciptanya proses
edukatif yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara formal (kepada pihak
yang mengangkat dan menugaskannya) maupun secara moral (kepada sasaran didik,
serta Tuhan yang menciptakannya).
Selain itu, Abin Syamsuddin juga mengutip
pemikiran Gage dan Berliner, yang mengemukakan peran guru dalam proses
pembelajaran peserta didik, yang mencakup :
1. Guru sebagai perencana (planner)
yang harus mempersiapkan apa yang akan dilakukan di dalam proses belajar
mengajar (pre-teaching problems).;
2. Guru sebagai pelaksana (organizer),
yang harus dapat menciptakan situasi, memimpin, merangsang, menggerakkan, dan
mengarahkan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan rencana, di mana ia
bertindak sebagai orang sumber (resource person), konsultan kepemimpinan
yang bijaksana dalam arti demokratik & humanistik (manusiawi) selama proses
berlangsung (during teaching problems).
3. Guru sebagai penilai (evaluator) yang harus
mengumpulkan, menganalisa, menafsirkan dan akhirnya harus memberikan
pertimbangan (judgement), atas tingkat keberhasilan proses pembelajaran, berdasarkan
kriteria yang ditetapkan, baik mengenai aspek keefektifan prosesnya maupun
kualifikasi produknya.
Daoed Yoesoef
(1980) menyatakan bahwa seorang guru mempunyai tiga tugas pokok yaitu tugas
profesional, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan (sivic mission). Tugas-tugas
profesional dari seorang guru yaitu meneruskan atau transmisi ilmu pengetahuan,
keterampilan dan nilai-nilai lain yang sejenis yang belum diketahui anak dan
seharusnya diketahui oleh anak.
Ketiga tugas guru
itu harus dilaksanakan secara bersama-sama dalam kesatuan organis harmonis dan
dinamis. Seorang guru tidak hanya mengajar di dalam kelas saja tetapi seorang
guru harus mampu menjadi katalisator, motivator dan dinamisator pembangunan
tempat di mana ia bertempat tinggal.
Ketiga tugas ini jika dipandang dari segi anak didik maka guru harus
memberikan nilai-nilai yang berisi pengetahuan masa lalu, masa sekarang dan
masa yang akan datang, pilihan nilai hidup dan praktek-praktek komunikasi.
Pengetahuan yang kita berikan kepada anak didik harus mampu membuat anak didik
itu pada akhimya mampu memilih nilai-nilai hidup yang semakin komplek dan harus
mampu membuat anak didik berkomunikasi dengan sesamanya di dalam masyarakat,
oleh karena anak didik ini tidak akan hidup mengasingkan diri.
WF Connell (1972) membedakan tujuh peran seorang guru yaitu (1) pendidik (nurturer),
(2) model, (3) pengajar dan pembimbing, (4) pelajar (learner), (5)
komunikator terhadap masyarakat setempat, (6) pekerja administrasi, serta (7)
kesetiaan terhadap lembaga.
Peran guru sebagai
pendidik (nurturer) merupakan peran yang berkaitan dengan tugas-tugas
memberi bantuan dan dorongan (supporter), tugas-tugas pengawasan dan pembinaan
(supervisor) serta tugas-tugas yang berkaitan dengan mendisiplinkan anak agar
anak itu menjadi patuh terhadap aturan-aturan sekolah dan norma hidup dalam
keluarga dan masyarakat. Tugas-tugas ini berkaitan dengan meningkatkan
pertumbuhan dan perkembangan anak untuk memperoleh pengalaman-pengalaman lebih
lanjut seperti penggunaan kesehatan jasmani, bebas dari orang tua, dan orang
dewasa yang lain, moralitas tanggungjawab kemasyarakatan, pengetahuan dan
keterampilan dasar, persiapan.untuk perkawinan dan hidup berkeluarga, pemilihan
jabatan, dan hal-hal yang bersifat personal dan spiritual. Oleh karena itu
tugas guru dapat disebut pendidik dan pemeliharaan anak. Guru sebagai
penanggung jawab pendisiplinan anak harus mengontrol setiap aktivitas anak-anak
agar tingkat laku anak tidak menyimpang dengan norma-norma yang ada.
Peran guru sebagai
model atau contoh bagi anak. Setiap anak mengharapkan guru mereka dapat
menjadi contoh atau model baginya. Oleh karena itu tingkah laku pendidik baik
guru, orang tua atau tokoh-tokoh masyarakat harus sesuai dengan norma-norma
yang dianut oleh masyarakat, bangsa dan negara. Karena nilai nilai dasar negara
dan bangsa Indonesia adalah Pancasila, maka tingkah laku pendidik harus selalu
diresapi oleh nilai-nilai Pancasila.
Peranan guru sebagai pengajar dan
pembimbing dalam pengalaman belajar. Setiap guru harus memberikan pengetahuan,
keterampilan dan pengalaman lain di luar fungsi sekolah, hasil belajar yang
berupa tingkah laku pribadi dan spiritual dan memilih pekerjaan di masyarakat,
hasil belajar yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial tingkah laku sosial
anak.
Peran guru sebagai pelajar (leamer).
Seorang guru dituntut untuk selalu menambah pengetahuan dan keterampilan agar
supaya pengetahuan dan keterampilan yang dirnilikinya tidak ketinggalan jaman.
Pengetahuan dan keterampilan yang dikuasai tidak hanya terbatas pada
pengetahuan yang berkaitan dengan pengembangan tugas profesional, tetapi juga
tugas kemasyarakatan maupun tugas kemanusiaan.
Peran guru sebagai setiawan
dalam lembaga pendidikan. Seorang guru diharapkan dapat membantu kawannya yang
memerlukan bantuan dalam mengembangkan kemampuannya.
Peranan guru sebagai komunikator
pembangunan masyarakat. Seorang guru diharapkan dapat berperan aktif dalam
pembangunan di segala bidang yang sedang dilakukan. Ia dapat mengembangkan
kemampuannya pada bidang-bidang dikuasainya.
Guru sebagai
administrator. Seorang guru tidak hanya sebagai pendidik dan pengajar,
tetapi juga sebagai administrator pada bidang pendidikan dan pengajaran. Oleh
karena itu seorang guru dituntut bekerja secara administrasi teratur. Segala
pelaksanaan dalam kaitannya proses belajar mengajar perlu diadministrasikan
secara baik. Sebab administrasi yang dikerjakan seperti membuat rencana
mengajar, mencatat hasil belajar dan sebagainya merupakan dokumen yang berharga
bahwa ia telah melaksanakan tugasnya dengan baik.
Klasifikasi strategi belajar-mengajar, berdasarkan bentuk
dan pendekatan:
1.
Expository dan Discovery/Inquiry :
“Exposition” (ekspositorik) yang berarti guru
hanya memberikan informasi yang berupa teori, generalisasi, hukum atau dalil
beserta bukti bukti yang mendukung. Siswa hanya menerima saja informasi yang
diberikan oleh guru. Pengajaran telah diolah oleh guru sehingga siap
disampaikan kepada siswa, dan siswa diharapkan belajar dari informasi yang
diterimanya itu, disebut ekspositorik. Hampir tidak ada unsur discovery
(penemuan). Guru dapat memilih metode ceramah, ia hanya akan menyampaikan pesan
berturut-turut sampai pada pemecahan masalah/eksperimen bila guru ingin banyak
melibatkan siswa secara aktif.
2.
Discovery dan Inquiry :
Discovery (penemuan) sering dipertukarkan
pemakaiannya dengan inquiry (penyelidikan). Discovery (penemuan) adalah proses
mental dimana siswa mengasimilasikan suatu konsep atau suatu prinsip. Proses
mental misalnya; mengamati, menjelaskan, mengelompokkan, membuat kesimpulan dan
sebagainya. Sedangkan konsep, misalnya; bundar, segi tiga, demokrasi, energi
dan sebagai. Prinsip misalnya “Setiap logam bila dipanaskan memuai” .
Inquiry, merupakan perluasan dari discovery
(discovery yang digunakan lebih mendalam) Artinya, inquiry mengandung proses
mental yang lebih tinggi tingkatannya. Misalnya; merumuskan problema, merancang
eksperi men, melaksanakan eksperimen, melaksanakan eksperimen, mengumpulkan
data, menganalisis data, membuat kesimpulan, dan sebagainya.
3.
Pendekatan konsep :
Terlebih dahulu harus kita ingat bahwa istilah
“concept” (konsep) mempunyai beberapa arti. Namun dalam hal ini kita khususkan
pada pembahasan yang berkaitan dengan kegiatan belajar-mengajar. Suatu saat
seseorang dapat belajar mengenal kesimpulan benda-benda dengan jalan
membedakannya satu sama lain. Jalan lain yang dapat ditempuh adalah memasukkan
suatu benda ke dalam suatu kelompok tertentu dan mengemukakan beberapa contoh
dan kelompok itu yang dinyatakan sebagai jenis kelompok tersebut. Jalan yang
kedua inilah yang memungkinkan seseorang mengenal suatu benda atau peristiwa
sebagai suatu anggota kelompok tertentu, akibat dan suatu hasil belajar yang
dinamakan “konsep”. Bila seseorang telah mengenal
suatu konsep, maka konsep yang telah diperoleh tersebut dapat digunakan untuk
mengorganisasikan gejala-gejala yang ada di dalam kehidupan. Proses
menghubung-hubungkan dan mengorganisasikan konsep yang satu dengan yang lain
dilakukan melalui kemampuan kognitif.
4.
Pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA)
Pendekatan ini sebenamya telah ada sejak dulu,
ialah bahwa di dalam kelas mesti terdapat kegiatan belajar yang mengaktifkan
siswa (melibatkan siswa secara aktif). Hanya saja kadar (tingkat) keterlibatan
siswa itulah yang berbeda. Kalau dahulu guru lebih banyak menjejalkan fakta,
informasi atau konsep kepada siswa, akan tetapi saat ini dikembangkan suatu
keterampilan untuk memproses perolehan siswa. Kegiatan belajar-mengajar tidak
lagi berpusat pada siswa (student centered).
Siswa pada hakekatnya memiliki potensi atau
kemampuan yang belum terbentuk secara jelas, maka kewajiban gurulah untuk
merangsang agar mereka mampu menampilkan potensi itu, betapapun sederhananya.
Para guru dapat menumbuhkan keterampilan-keterampilan pada iswa sesuai dengan
taraf perkembangannya, sehingga mereka memperoleh konsep. Dengan mengembangkan
keterampilan keterampilan memproses perolehan, siswa akan mampu menemukan dan
mengembangkan sendin fakta dan kosep serta mengembangkan sikap dan nilai yang
dituntut. Proses belajar-mengajar seperti inilah yang dapat menciptakan siswa
belajar aktif.
2.9
Pendidikan Dalam Pondok
Pesantren
Pesantren adalah
lembaga pendidikan Islam. Di lembaga ini diajarkan dan dididik ilmu pengetahuan
dan nilai-nilai agama kepada santri. Pada awalnya pendidikan pesantren
menonjolkan pendidikan dan penanaman nilai-nilai agama kepada para santri lewat
kitab-kitab klasik, selanjutnya setelah masuknya ide-ide pembaruan pemikiran
Islam ke Indonesia, terjadilah perubahan pada pendidikan pesantren yang semula
mendalami ilmu agama saja, kemudian dimasukkan mata pelajaran umum yang
diharapkan dapat memperluas cakrawala berpikir para santri dan untuk bisa pula
para santri mengikuti ujian negara yang diadakan oleh pemerintah. Terdapat 5
pola berbeda dari pengajaran tiap-tiap pesantren:
(1)
Pola I
Pola yang dimaksud adalah pesantren masih
terikat kuat dengan sistem pendidikan Islam sebelum zaman pembaruan Islam di
Indonesia. Ciri-ciri dari pesantren pola I ini adalah pemakaian metode pengajaran
sorogan, wetonan dan hafalan di dalam berlangsungnya proses belajar mengajar.
(2)
Pola II
Pola yang dimaksud merupakan pengembangan
dari pesantren pola I. Dimana, pesantren pola II mengajarkan ekstra kurikuler
serta keterampilan dan praktik keorganisasian disamping metode pelajaran
seperti pada pesantren pola I.
(3)
Pola III
Pesantren pola ini merupakan pesantren yang
mengupayakan penyeimbangan antara ilmu agama dan umum. Ditanamkan sikap positif
terhadap kedua jenis ilmu itu kepada santri.
(4)
Pola IV
Selanjutnya, pesantren pola IV ini lebih
mengutamakan pengajaran ilmu-ilmu keterampilan di samping ilmu agama sebagai
mata pelajaran pokok. Pesantren ini mendidik para santrinya untuk memahami dan
dapat melaksanakan berbagai keterampilan sebagai bekal hidupnya.
(5)
Pola V
Pesantren pola V ini adalah pesantren yang
lebih lengkap dari pola-pola sebelumnya. Tergolong merupakan pendidikan formal
dan nonformal. Di pesantren ini dapat ditemukan pendidikan madrasah, sekolah
perguruan tinggi, pengkajian kitab-kitab klasik, majelis taklim, dan pendidikan
keterampilan.
Pesantren merupakan
lembaga pendidikan Islam. Pendidikan Islam pada dasarnya adalah pendidikan yang
bertujuan untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi
manusia yang baik yang berbentuk jasmani maupun rohani.
2.10 Pendidikan Islam dan Pendidikan
Indonesia
Syari’at Islam
tidak akan dihayati dan diamalkan orang jika hanya dibiarkan saja, tetapi harus
dididik melalui proses pendidikan. Nabi telah mengajak orang untuk beriman dan
beramal serta berakhlak baik sesuai ajaran Islam dengan berbagai metoda dan
pendekatan. Dari satu segi kita melihat, bahwa pendidikan Islam itu lebih
banyak ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan,
baik bagi keperluan diri sendiri maupun orang lain. Di segi lainnya, pendidikan
Islam tidak hanya bersifat teoritis saja, tetapi juga praktis. Ajaran Islam
tidak memisahkan antara iman dan amal saleh. Oleh karena itu, pendidikan Islam
merupakan pendidikan iman yang disertai dengan pendidikan amal. Oleh karena
ajaran Islam berisi ajaran tentang sikap dan tingkah laku pribadi masyarakat,
menuju kesejahteraan hidup perorangan dan bersama, maka pendidikan Islam adalah
pendidikan individu dan pendidikan masyarakat. Semula orang yang bertugas
mendidik adalah para Nabi dan Rasul, selanjutnya para ulama dan cerdik
pandailah sebagai penerus tugas dan kewajiban mereka.
Pendidikan kita
sekarang ini memang harus disempurnakan agar dapat mengantar lulusan hidup wajar
pada masa depan. Mengapa pendidikan harus diproyeksikan ke masa depan? Karena
hasil suatu pendidikan tidak dapat dinikmati masa kini, melainkan pada masa
depan, dekat atau jauh. Pendidikan yang berlangsung saat ini di dunia,
khususnya di Indonesia; memang harus diperbarui, diberi sentuhan baru yang
segar agar ia sehat dan mampu mengantarkan lulusan menghadapi masa depannya.
Dalam al-Qur’an
kata pendidikan dikenal dengan istilah tarbiyah. Kata ini berasal dari kata
rabba, yurabbi yang berarti memelihara, mengatur, mendidik, seperti yang
terdapat dalam surat al-Isra’ [17]: 24. Tarbiyah tidak hanya memindahkan ilmu
dari satu pihak kepada pihak lain, namun juga penanaman nilai-nilai luhur atau
akhlâk al-karîmah, serta pembentukan karakter. Oleh karena itulah, Allah swt
menyebut dirinya dengan sebutan Rabb yang berarti pemelihara dan pendidik. Kita
selalu dituntut untuk selalu memuji Rabb dalam segala kondisi, susah atau
senang, bahagia atau susah, mendapat nikmat atau musibah. Sebab, Tidak ada
satupun yang datang dari Rabb dalam bentuk keburukan. Semuanya bertujuan untuk
kebaikan manusia, karena Tuhan adalah Pendidik (Rabb). Jikalau sesuatu itu
buruk dalam pandangan manusia, itu hanyalah disebabkan keterbatasan dan
ketidakmampuan manusia memahami Tuhan (Rabb) secara utuh dan menyeluruh. Tetapi
ada saatnya nanti, manusia menyadari bahwa sesuatu yang dulu tidak dia senangi,
ternyata Tuhan berikan demi kebaikannya. Ibarat seorang anak yang dilarang
bermain oleh ibunya, sehingga dia kesal dan mengatakan ibunya tidak
menyayanginya. Setelah dia dewasa dan meraih kesuksesan hidup, barulah dia
sadar bahwa apa yang dilakukan ibunya adalah demi kebaikannya, walupun wujudnya
ketika itu tidak menyenangkannya. Dengan demikian, Islam tidak pernah
mengajarkan umatnya untuk berhenti mencari ilmu, karena ilmu itu begitu
luasnya. Semakin banyak yang diketahui akan semakin sadar manusia itu, bahwa
begitu banyak yang belum dia ketahui. Itulah agaknya kenapa dalam wahyu pertama
yang diturunkan Allah swt, kata iqra’ diulang dua kali. Hal itu berarti bahwa
membaca dan proses belajar harus selalu dilakukan. Sebab, semakin banyak kita
membaca semakin mulia kita di depan manusia dan di mata Allah swt, karena
kemulian Tuhan akan diberikan kepada orang yang selalu membaca (warabbuka al- akram/
dan Tuhanmu Maha Mulia).
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik),
yaitu : memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan
kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian : proses
pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan,
cara mendidik. Pendidikan adalah upaya menuntun anak-anak sejak lahir
untuk mencapai kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi alam beserta
lingkungannya.
Dalam pendidikan
terdapat dua hal penting yaitu aspek kognitif (berpikir) dan aspek afektif
(merasa). Sebagai ilustrasi, saat kita mempelajari sesuatu maka di dalamnya
tidak saja proses berpikir yang ambil bagian tapi juga ada unsur-unsur yang
berkaitan dengan perasaan seperti semangat, suka dan lain-lain.
Pendidikan menurut
Islam sangat mengekang anak untuk lebih mendalami tentang Islam dan biasanya
dipisahkan antara kaum lelaki dan perempuan. Karena menurut Islam, mereka bukan
muhrimnya untuk bersama. Sedangkan pendidikan di Indonesia sangat mengekang
anak untuk lebih mendalami ilmu alam dan tidak dipisahkan antara kaum lelaki
dan perempuan.
Pendidikan anak
adalah perkara yang sangat penting di dalam Islam. Seorang pendidik, baik
orangtua maupun guru hendaknya mengetahui betapa besarnya tanggung-jawab mereka
di hadapan Allah ‘azza wa jalla terhadap pendidikan putra-putri Islam. Beberapa
tuntunan tersebut antara lain:
· Menanamkan
Tauhid dan Aqidah yang Benar kepada Anak
Suatu hal yang tidak bisa dipungkiri
bahwa tauhid merupakan landasan Islam. Apabila seseorang benar tauhidnya, maka
dia akan mendapatkan keselamatan di dunia dan akhirat. Sebaliknya, tanpa tauhid
dia pasti terjatuh ke dalam kesyirikan dan akan menemui kecelakaan di dunia
serta kekekalan di dalam adzab neraka.
· Mengajari
Anak untuk Melaksanakan Ibadah
Hendaknya sejak kecil putra-putri kita
diajarkan bagaimana beribadah dengan benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam. Mulai dari tatacara bersuci, shalat, puasa serta beragam
ibadah lainnya. Bila mereka telah bisa menjaga ketertiban dalam shalat, maka
ajak pula mereka untuk menghadiri shalat berjama’ah di masjid. Dengan melatih
mereka dari dini, insya Allah ketika dewasa, mereka sudah terbiasa dengan
ibadah-ibadah tersebut.
· Mengajarkan
Al-Quran, Hadits serta Doa dan Dzikir yang Ringan kepada Anak-anak
Dimulai dengan surat
Al-Fathihah dan surat-surat yang pendek serta doa tahiyat untuk shalat. Dan
menyediakan guru khusus bagi mereka yang mengajari tajwid, menghapal Al-Quran
serta hadits. Begitu pula dengan doa dan dzikir sehari-hari. Hendaknya mereka
mulai menghapalkannya, seperti doa ketika makan, keluar masuk WC dan lain-lain.
· Mendidik
Anak dengan Berbagai Adab dan Akhlaq yang Mulia
Ajarilah anak dengan berbagai adab
Islami seperti makan dengan tangan kanan, mengucapkan basmalah sebelum makan,
menjaga kebersihan, mengucapkan salam, dll. Begitu pula dengan akhlak. Tanamkan
kepada mereka akhlaq-akhlaq mulia seperti berkata dan bersikap jujur, berbakti
kepada orang tua, dermawan, menghormati yang lebih tua dan sayang kepada yang
lebih muda, serta beragam akhlaq lainnya.
· Melarang
Anak dari Berbagai Perbuatan yang Diharamkan
Hendaknya anak sedini mungkin
diperingatkan dari beragam perbuatan yang tidak baik atau bahkan diharamkan,
seperti merokok, judi, minum khamr, mencuri, mengambil hak orang lain, zhalim,
durhaka kepada orang tua dan segenap perbuatan haram lainnya.
· Menanamkan
Cinta Jihad serta Keberanian
Bacakanlah kepada mereka kisah-kisah
keberanian Nabi dan para sahabatnya dalam peperangan untuk menegakkan Islam
agar mereka mengetahui bahwa beliau adalah sosok yang pemberani, dan
sahabat-sahabat beliau seperti Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali dan Muawiyah telah
membebaskan negeri-negeri. Didiklah mereka agar berani beramar ma’ruf nahi
munkar, dan hendaknya mereka tidaklah takut melainkan hanya kepada Allah. Dan
tidak boleh menakut-nakuti mereka dengan cerita-cerita bohong, horor serta
menakuti mereka dengan gelap.
· Membiasakan
Anak dengan Pakaian yang Syar’i
Hendaknya anak-anak dibiasakan menggunakan pakaian
sesuai dengan jenis kelaminnya. Anak laki-laki menggunakan pakaian laki-laki
dan anak perempuan menggunakan pakaian perempuan. Jauhkan anak-anak dari
model-model pakaian barat yang tidak syar’i, bahkan ketat dan menunjukkan
aurat.
Dari orde Presiden Soekarno, kemudian Soeharto
hingga saat ini. Sudah beberapa kali sistem pendidikan Nasional Bangsa ini
berubah-ubah. Namun mengapa tidak pernah selesai. Artinya satu sistem akan
berhasil apabila dia dituntaskan. Namun apa yang terjadi setiap kali perubahan
Presiden dan Menteri maka berubah pula kebijakan tentang sistem pendidikan
nasional ini. Padahal sistem pendidikan Nasional bukanlah milik Presiden,
Menteri ataupun Partai Politik. Sekolah sebagai sarana dan tempat mendapatkan
pengajaran dan pendidikan yang akan membuat kita mengenal, tahu, dan bisa
melakukan hal-hal yang baru dengan cara yang cerdas dan efisien. Tidak sekedar
membina dan mendidik para siswanya untuk menghadapi Ujian Nasional. Ujian yang
akan mempertaruhkan 3 tahun pembelajaran dan jerih payah siswa.
2.11 Ayat al-Qur’an Tentang Pendidikan
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah
dalam majelis”, maka lapangkanlah. Niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan.” (Q. S. Al-Mujadalah, 58: 11)
Artinya:
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min pergi semuanya (ke medan
perang), mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agamadan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka
itu dapat menjaga dirinya.” (Q. S. At Taubah 9: 122)
Artinya:
“(Apakah kamu orang yang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang
beribadah pada waktu malam dengan sujud dan berdiri, karena takut kepada (azab)
akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah, “Apakah sama orang-orang
yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sebenarnya hanya
orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran. (Q. S Az Zumar 39: 9)
Berdasarkan
ayat Al-Qur’an tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu:
A.
Al-Qur’an sangat mendorong perkembangan ilmu pengetahuan. Terlihat dari
banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an yang menyuruh manusia untuk menggunakan akal
pikiran sehingga dapat memperhatikan segala ciptaan Allah swt.
B.
Al-Qur’an juga menyebutkan perbedaan yang sangat jauh antara orang-orang
yang berilmu dengan yang tidak. Mereka yang berilmu akan ditinggikan derajatnya
di hadapan Allah swt.
C.
Banyak sekali penemuan yang terjadi di dunia yang seiring dengan
kebenaran ayat-ayat Al-Qur’an, namun Al-Qur’an bukanlah buku tentang ilmu
pengetahuan dan tidak membahas seluruh cabang ilmu pengetahuan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pendidikan merupakan usaha yang
dilakukan dengan penuh kesadaran dan terencana (bertahap) dalam meningkatkan
potensi diri peserta didik dalam segala aspeknya menuju terbentuknya
kepribadian dan akhlak mulia dengan menggunakan media dan metode pembelajaran
yang tepat guna melaksanakan tugas hidupnya sehingga dapat mencapai keselamatan
dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Pendidikan
Islam adalah suatu sistem kependidikan yang mencakup seluruh aspek
kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah, sebagaimana Islam telah menjadi
pedoman bagi seluruh aspek kehidupan manusia.
Beberapa paradigma dasar bagi sistem
pendidikan dalam kerangka Islam:
1. Islam meletakkan prinsip kurikulum, strategi, dan tujuan
pendidikan berdasarkan aqidah Islam. Pada aspek ini diharapkan terbentuk sumber
daya manusia terdidik dengan aqliyah Islamiyah (pola berfikir islami) dan
nafsiyah islamiyah (pola sikap yang islami).
2. Pendidikan harus diarahkan pada pengembangan keimanan, sehingga
melahirkan amal shaleh dan ilmu yang bermanfaat. Prinsip ini mengajarkan pula
bahwa di dalam Islam yang menjadi pokok perhatian bukanlah kuantitas, tetapi
kualitas pendidikan. Perhatikan bagaimana Al Quran mengungkapkan tentang ahsanu
amalan atau amalan shalihan (amal yang terbaik atau amal shaleh).
3. Pendidikan ditujukan dalam kaitan untuk membangkitkan dan
mengarahkan potensi-potensi baik yang ada pada diri setiap manusia selaras
dengan fitrah manusia dan meminimalisir aspek yang buruknya.
4. Keteladanan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam suatu
proses pendidikan. Dengan demikian sentral keteladanan yang harus diikuti
adalah Rasulullah saw. Dengan demikian Rasulullah saw. merupakan figur sentral
keteladanan bagi manusia. Al quran mengungkapkan bahwa “Sungguh pada diri
Rasul itu terdapat uswah (teladan) yang terbaik bagi orang-orang yang berharap
bertemu dengan Allah dan hari akhirat”.
DAFTAR PUSTAKA
Al Qarashi, Baqir Sharif. 2000. Seni Mendidik Islami. Jakarta: Pustaka
Zahra.
Adiwikarta, endang soetari. 2009. Mereka
Bicara Pendidikan Islam,Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Adi,
Susono dkk. 1997. Solusi Islam Atas Problematika Umat. Jakarta: Gema Insan
Press.
Dr. moh. Roqib,M . Ag. 2009. Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: LkiS.
Dr. moh. Roqib,M . Ag. 2009. Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: LkiS.
Arifin,
Muhammad. 2008. Ilmu Pendidikan Islam.
Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Ramayulis.
2002. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta:
Kalam Mulia.
Daulay, Haidar Putra. 2006. Pendidikan Islam – Dalam Sistem Nasional di Indonesia. Jakarta:
Kencana
Nata, Abuddin. 2008. Tafisr
Ayat-ayat Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Referensi Internet:
http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2043347-pengertian-pendidikan/
http://mixingblogging.blogspot.com/2007/06/tujuan-dan-manfaat-life-skill-education.html
http://www.scribd.com/doc/33615435/12/E-Fungsi-Pendidikan
http://cybercounselingstain.bigforumpro.com/t136-pengertian-pendidikan-islam
http://forum.dudung.net/index.php?topic=5368.0
http://hpcartridgerefills.com/pendidikan-dalam-islam-tujuan-pendidikan-dalam-islam/
http://abulraihan.wordpress.com/2008/05/12/komponen%E2%80%93komponen-kurikulum-pendidikan/
http://iirmakalahtarbiyah.blogspot.com/2010/11/makalah-ilmu-pendidikan-islam-komponen.html
http://pakguruonline.pendidikan.net/buku_tua_pakguru_dasar_kpdd_b11.html
http://pakguruonline.pendidikan.net/buku_tua_pakguru_dasar_kpdd_154.html
http://pakguruonline.pendidikan.net/buku_tua_pakguru_dasar_kpdd_b11.html
http://pakguruonline.pendidikan.net/buku_tua_pakguru_dasar_kpdd_154.html
http://blog.unila.ac.id/hairuddin/2009/10/29/peran-guru-dalam-proses-pendidikan/
http://iirmakalahtarbiyah.blogspot.com/2010/11/makalah-ilmu-pendidikan-islam-komponen.html
http://iirmakalahtarbiyah.blogspot.com/2010/11/makalah-ilmu-pendidikan-islam-komponen.html
http://anakmuslim.wordpress.com/2007/02/24/pendidikan-anak-dalam-islam/
http://syofyanhadi.blogspot.com/2008/06/konsep-pendidikan-menurut-islam.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar