KELOMPOK 8
DESMARISA
DIYAH AYU WINDARI
DOSEN PEMBIMBING
Dra. RUBI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
(STAI ) BENGKALIS
T.A 2012/2013
ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOÏm§9$#
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sang Pencipta alam semesta, manusia, dan kehidupan beserta seperangkat aturan-Nya, karena berkat limpahan rahmat, taufiq, hidayah serta inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan tema “GADAI DAN SEWA-MENYEWA’’ yang sederhana ini dapat terselesaikan tidak kurang daripada waktunya.
Pada kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dosen mata kuliah FIQIH MUAMALAH serta semua pihak yang telah membantu penyelesaian makalah ini baik secara langsung maupun tidak langsung.
penulis pun sadar bawasannya penulis hanyalah seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, sedangkan kesempurnaan hanya milik ALLAH Azza Wa’jala hingga dalam penulisan dan penyusununnya masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif akan senantiasa penulis nanti dalam upaya evaluasi diri.
Akhirnya penulis hanya bisa berharap, bahwa dibalik ketidak sempurnaan penulisan dan penyusunan makalah ini adalah ditemukan sesuatu yang dapat memberikan manfaat atau bahkan hikmah bagi penulis, pembaca, dan bagi seluruh mahasiswa-mahasiswi lainnya. Amien ya Rabbal ‘alamin.
Penulis
Bengkalis, Oktober 2012
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................. ii
BAB I PEMBAHASAN................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah.................................................................... 1
B. Pembatasan Masalah......................................................................... 2
C. Rumusan Masalah............................................................................. 2
D. Tujuan Penulisan............................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Penggadaian...................................................................................... 3
B. Ijarah................................................................................................. 5
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan....................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA............................................................................. 9
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sesuai firman Allah SWT dalam Q.S Al-Baqarah: 283
Artinya:
jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Makna ayat di atas adalah sesungguhnya Allah SWT memerintahkan kepada orang yang melakukan akad dengan yang lainnya yang tidak mendapati seorang penulis sebagai penguat kepercayaan, agar menggadaikan barang tanggungan sebagai pegangan yang diserahkan kepada orang yang berpiutang, supaya orang yang berpiutang menjadi tenang dalam melepas hartanya (uangnya) dan yang berpiutang memeliharanya supaya tidak hilang pula barang yang digadaikan. Sehingga dalam akad ini tidak ada kemurahan tetapi penuh dengan perhitungan dan kekhawatiran
Allah berfirman dalam Q.s Ath-Thalaq: 6
Artinya:
Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
Rukun ijarah antara lain
a. Yang menyewa dan yang menyewakan.
b. Objek ijarah.
c. Manfaat ijarah.
B. Pembatasan Masalah.
Agar masalah dalam pemakalah tidak menyimpang dari apa yang dibahas, maka
penulis hanya akan membatasi mengenai Rahn ( gadai ) dan ijarah ( upah-mengupah ).
C. Rumusan Masalah.
Berdasarkan permasalahan diatas, Rumusan masalah yang dipaparkan adalah:
1. Apakah pengertian rihanah ?
2. Bagaimanakh hukum seseorang melakukun rihanah?
3. Apakah pengertian ijarah ?
4. Bagaimanakah hukum ijaroh ?
5. Hikmah di lakukan rinayah dan ijarah ?
D. Tujuan Penulisan.
Maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini tidaklah lain untuk memenuhi salah satu dari sekian kewajiban mata kuliah FIQIH MUAMALAT serta merupakan bentuk langsung tanggung jawab penulis pada tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. RINAYAH
1. Pengertian Rinayah
Secara etimologi, Rahn berarti tetap dan lama, yakni tetap atau berarti pengekangan dan keharusan.
Menurut terminologi syara’adalah penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat di jadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut.[1]
Gadai adalah utang dengan jaminan suatu barang sebagai penguat kepercayaan piutang. Barang tersebut di nilai dengan harga yang lebih rendah, agar sewaktu-waktu utang tidak dapat sebagai tebusan.[2] Gadai timbul karena uang sebagai alat pembayaran merupakan kebutuhan pokok dalam setiap pemenuhan kebutuhan hidup, terutama yang langsung berkaitan dengan masalah perekonomian.
2. Landasan Hukum Rahn.
Para ulama sepakat bahwa ulama di perbolehkan, tetapi tidak di wajibkan sebagai gadai sebab gadai hanya jaminan sahaja jika jedua pihak tidak saling mempercayai. Sesuai firman Allah dalam surah Al- Baqarah dalam ayat 283
Artinya:
jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Selain itu perintah untuk memberikan jaminan sebagaimana dinyatakan dalam ayat tersebut dilakukan ketika tidak ada penulis, padahal hukum utang sendiri tidak wajib, begitu juga penggantinya, yaitu barang jaminan.
Dan para ulama telah sepakat bahwa gadai itu boleh. Mereka tidak pernah mempertentangkan kebolehannya demikian pula landasan hukumnya. Jumhur berpendapat: disyari’atkan pada waktu tidak bepergian dan waktu bepergian, berargumentasi kepada perbuatan Rasulullah SAW terhadap orang Yahudi di Madinah. Adapun dalam masa perjalanan, seperti dikaitkan dalam ayat di atas itu melihat kebiasaannya, di mana pada umumnya marhun dilakukan pada waktu bepergian.
3. Rukun dan unsur- unsurnya
Rahan mempunyai 4 unsur yaitu; rahin ( orang yang memberikan jaminan), almurtahin (orang yang menerima), almarhun( jaminan), dan al marhun nih ( utang).
Menurut ulama hanafiah rukun rahan adalah ijab dan kabul dari rahin dan almurtahin, bagaimana pada akad yang lain. Akan tetapi, akad dalam rahim tidak akan sempurna sebelum adanya penyerahan barang.
Adapun menurut ulama sebelum hanafiah, rukun rahan adalah shigot, aqit( orang yang akad) markhun dan markhunbih.[3]
4. Syarat-syarat rahn
a. Ijab kabul yakni tanda serah terima.
b. Syarat harta yang di gadaikan adalah benda yang sah di jual.
c. Orang yang menggadaikan dan menerima gadaian berakal,baligh,dan tidak di larang mempergunakan hartanya, dan di lakukannya debgan kemauanya.
d. Tidak boleh meragukan orang yang menggadaikan.
e. Tidak merugikan orang yang menerima gadai.
5. Barang yang di gadaikan
Adapun barang yang di gdaikan adalah barang- barang yang boleh di perjual belikan dan mudah di simpan.seperti mas, kendaraan, dll. Benda semcam ini di sebut juga benda bergerak, jika gadai di lakukan, benda-benda tersebut berada di tangan si berpiutang (penggadai). Jika barang yang di gadaikan berupa barang barang tidak bergerak seperti rumah,tanah, dan sebagainya maka barang tadi tetap berada di tempatnya, tetapi hak kepemilikannya seperti sertifikat atau surat bukti lainnya berada pada penggadai.
Dengan demikian, barang yang tidak boleh di perjual belikan, tidak boleh di gadaikan, misalnya menggadaikan barang yang Masih dalam sengketa, barang pinjaman atau barang yang di gazab (pinjaman tanpa seizin pemiliknya).
6. Barang gadaian yang rusak.
Apabila barang yang digadaikan rusak di tangan penggadai dengan tanpa sengaja, maka pihak penggadai tidak wajib mengebalikan atau mengganti. kecuali bila rusak atau hilangnya itu karena kelalaian penggadai atau karena disia-siakan.
7. Pemanfaatan barang gadai.
Mengambil manfaat dari barang gadaian hukumnya boleh sepanjang tidak merugikan nilai asal barang tersebut. Misalnya lembu digunakan untuk membajak, mobil untuk dikendarai. Dalam memanfaatkan barang gadaian oleh pihak yang berpiutang tidak boleh berlebihan. Tetapi cukup berimbang dengan biaya atau nafkah yang dikeluarkan dalam pemeliharaan barang yang digadai.
8. Hikmah gadai.
a. Mempermudah pihak-pihak yang sangat membutuhkan untuk mendapatkan uang tunai dengan jaminan barang.
b. Melaksanakan perintah Allah, meskipun perintah tersebut disertai persyaratan.
c. Sebagai bukti bahwa kemajuan dalam bentuk sistem perekonomian yang praktis.
d. Tolong menolong antar seseorang dengan yanng lain.[4]
B. IJARAH
1. Pengertian ijarah.
Ijarah adalah suatu akad ( transaksi ) atas suatu manfaat, dan pokok ( benda atau jasa ) tidak berubah. Ijarah lebih gampang disebut dengan imbalan jasa atas prestasi seseorang.
2. Landasan hukum ijarah.
a. Landasan Al – quran
firman Allah:
Artinya : “kemudian jika mereka menyusukan ( anak-anak ) mu, maka berilah kepada mereka upah. ( Q.S Ath-thalaq : 6 )
b. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, bahwa Nabi SAW bersabda۰
Artinya : “Berikan olehmu upah orang sewaan sebelum keringatnya kering”.
c. Landasan Ijma’nya
Mengenai disyari’atkan ijarah, semua umat bersepakat, tak seorang ulama pun yangmembantah kesepakatan (ijma) ini, sekalipun ada beberapa orang di antara mereka yang berbeda pendapat, akan tetapi hal itu tidak dianggap.
3. Rukun ijarah.
Menurut ulama hanafiah, rukun ijarah adalah ijab dan qabul, antara lain dengan menggunakan kalimat: al-ijarah, al-isti’jar, al- ikhtira, dan al- ikra.
Adapun menurut jumhur ulama rukun ijarah ada 4 yaitu:
a. Aqid ( orang yang berakad ).
b. Shighat akad.
c. Ujarah ( upah ).
d. Manfaat.
4. Syarat ijarah
a. Kerelaan dua pihak yang melakukan akad.
b. Mengetahui manfaat dengan sempurna barang yang diakadkan, sehingga mencegah terjadinya perselisihan.
c. Hendaklah barang yang menjadi obyek transaksi (akad) dapat dimanfaatkan kegunaannya menurut kriteria, realita dan syara’.
d. Dapat diserahkan sesuatu yang disewakan berikut kegunaan (manfaatnya).
e. Bahwa manfaat, adalah hal yang mubah, bukan yang diharam.[5]
5. Macam macam ijarah
a. Ijarah ainiyah adalah semua barang yang mungkin dapat diambil manfaatnya dengan tetapzat/bendanya, sah untuk disewakan, apabila kemanfaatnya itu dapat ditentukan dengan salah satu dari dua perkara yaitu masa dan perbuatan.
b. Ijarah dhimmiyah yaitu sewa menyewa dengan jaminan oleh yang menyewakan bahwa barang sewa selalu baik seperti yang dijanjikan dalam akad.
6. Batalnya sewa menyewa.
Ijarah akan batal bila ada hal-hal berikut:
a. Terjadi cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan penyewa.
b. Rusaknya barang yang disewaka.
c. Rusaknya barang yang diupahkan.
d. Terpenuhinya manfaat yang diakadkan.
e. Menurut Hanafiyah, boleh batal dari salah satu pihak, seperti sewa toko untuk dagang, kemudian dagangannya dicuri.[6]
7. Bentuk bentuk upah.
a. Mengupah orang mengajar al- qur’an.
Menurut Mazhab maliki, syafi’i Mengupah orang yang mengajarkan al-quran/ ilmu pengetahuan lainnnya yang berhubungan dengan agama hukumnya boleh. Sebab jika dipertimbangkan dari segi waktu yang harus disediakan, dapat digunakan kepentingan usaha lainnya untuk mempertahankan hidupnya.
Menurut Hanafi Upah dalam perbuatan ibadah (ketaatan) seperti shalat, puasa, haji dan membaca Al-qur’an yang pahalanya dihadiahkan kepada arwah, atau azan, qamat dan menjadi imam, haram hukumnya Karena Rasulullah SAW. bersabda:
Artinya: “Bacalah olehmu Al-qur’an dan jangan kamu (cari) makan dengan jalan itu”.
Menurut mazhab Hambali bahwa pengambilan upah dari pekerjaan azan, qamat, mengajarkan Al-qur’an, fiqih, hadits, badal haji dan puasa qadha adalah tidak boleh, diharamkannya bagi pelakunya untuk mengambil upah tersebut. Namun, boleh mengambil upah dari pekerjaan-pekerjaan pekerjaan tersebut jika termasuk kepada mashalih, seperti mengajarkan Al-qur’an, hadits dan fiqih, dan haram mengambil upah yang temasuk kepada taqarrub seperti membaca Al-qur’an, shalat dan lainnya.
b. Mengupah buruh/pekerja.
Mengupah buruh/kerja hukumnyawajib. Menurut ketentuan hadist Rosullulah saw diperintahkan membayar upah pekerja dengan segera, sebelum keringatnya kering.
Dalam kehidupan sehari hari, seseorang mencari pekerjaan yang sesuai dengan profesi dan kemampuan dengan cara mengetahui terlebih dahulu berapa besar gaji yang akan diberikan kepadanya.
Dalam al- qur’an Allah memerintahkan agar kita memakan rezki dari hasil kerja yang halal dan baik.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah. ( Q.S Al- Baqarah: 172 ).[7]
8. Hikmah ijarah.
a. Saling tolong menolong, isi mengisi antar sesama dan berkerjasama sebagai makhluk sosial.
b. Melaksanakan perintah Allah dalam tolong menolong dalam masalah kebaikan dan taqwa.
c. Menghormati hak-hak buruh/pekerja yang dibutuhkan tenaganya guna keseimbangan usahanya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gadai merupakan penyerahan suatu benda yang berharga dari seseorang kepada orang lain sebagai penguat atau tanggungan dalam hutang piutang.
Sedangkan ijarah ialah aqad untuk mengambil manfaat suatu benda dari pemiliknya dengan bayaran atau tukaran tertentu menurut perjanjian. Kedua muamalah di luar jual beli ini hukumnya boleh atau mubah. Bahkan dalam hal gadai hukum orang yang memberikan pertolongan adalah sunnah.
Dalam aqad gadai dan ijarah, tidak ada teks tertentu agar akad tersebut sah. Akan tetapi, apabila sudah saling menyetujui perjanjian, syarat dan rukunnya, maka sahlah gadai dan sewa tersebut. Tetapi, dalam gadai apabila barang gadaian belum sampai di tangan orang yang menghutangkan, maka gadai belum terikat.
Gadai akan berakhir pada masa yang telah ditentukan, apabila tidak mampu menebusi barang tersebut maka hakim boleh menjual barang tersebut dengan ijin penggadai. Apabila telah cukup dan memilik sisa, maka sisa tersebut dikembalikan kepada penggadai.
Berakhirnya ijarah adalah terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah ditentukan dan selesainya pekerjaan.
DAFTAR PUSTAKA
Syaefi’i Rachmat, Drs., H., Fiqih Muamalah, Cv Pustaka setia, Maret 2001.
Rahman Abdul, Drs., H., Fiqih Untuk Madrasah Aliyah, Cv Armico, Bandung.1992.
Rofiq Ahmad, Drs., Fiqih Untuk Madrasah Aliyah kelas II, Cv Armico, Bandung.1992.
Suhendi, Hendi, Dr. H. M.Si. FIQIH MUAMALAH. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.2005
[1] Drs.H.Rachmat Syafiie,MA,fiqih muamalah ( cv pustaka setia ) hlm 159
[2] Drs.H.Abdurrahman.fiqih (cv.armico bandung) hal 118.
[3] Drs.H.Rachmat Syafiie,MA.op cit hal 162
[4] Drs.H.Rachmat Syafiie,MA.op cit hal 120-121
[5] Drs.H.Rachmat Syafiie,MA,fiqih muamalah ( cv pustaka setia ) hlm121- 125.
[6] Dr. H.Suhendi Hendi, M.Si. FIQIH MUAMALAH ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada ).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar