Jumat, 06 Juni 2014

MODEL-MODEL PENDIDIKAN ISLAM



MODEL-MODEL PENDIDIKAN ISLAM

Realita perubahan sosiokultural yang melanda seluruh bangsa di atas bumi, termasuk bangsa Indonesia, menuntut kepada adanya konsepsi baru yang tanggap dan sanggup memecahkan problema-problema kehidupan umat manusia melalui pusat-pusat gerakan paling strategis dalam masyarakat. Salah satu pusat strategis tersebut adalah gerakan kependidikan yang mempunyai landasan ideal dan operasional yang kokoh berdasarkan nila-nilai yang pasti dan antisipatif kepada kemajuan hidup masa mendatang.
Pendidikan Islam yang bertugas pokok menggali, menganalisis, dan mengembangkan serta mengamalkan ajaran Islam bersumberkan Alqur’an dan Al-Hadits, cukup memperoleh bimbingan dan arahan dari kandungan makna yang terungkap dari kedua sumber tuntutan tersebut. Makna yang komprehensif dari sumber tersebut menjangkau dan melingkupi segala aspek kehidupan manusia modern.
Secara embrionik, dorongan, dan rangsangan ajaran Alqur’an terhadap perkembangan rasio untuk pemantapan iman dan takwa diperkokoh melalui ilmu pengetahuan manusia merupakan ciri khas islami, yang tidak terdapat di dalam kitab-kitab suci agama lain. Alquran sebagai sumber pedoman hidup umat manusia telah menggelarkan wawasan dasar terhadap masa depan hidup manusia dengan rentangan akal pikirannya yang mendalam dan meluas sampai pada penemuan ilmu dan teknologi yang canggih.
Pandangan objektif dari salah seorang dokter bedah berkebangsaan Prancis, Dr. Maurice Bucaille, yang telah melakukan studi perbandingan mengenai Bibel dan Alquran serta sains modern sungguh mengejutkan umat Islam sendiri yang setiap hari memegang dan membaca kitab suci Alquran. Pendapat beliau berdasarkan standar ilmiah modern melalui analisis komparatif dan akademik terhadap kebenaran Alquran sebagai wahyu murni, secara tekstual dan materiil, menunjukkan bahwa “Alquran diwahyukan sesudah kitab suci sebelumnya, buka saja bebas dari kontradiksi dalam riwayat-riawayatnya. Kontradiksi yang menjadi ciri Injil karena disusun oleh manusia tetapi juga menyajikan kepada orang yang mempelajarinya secara objektif dengan mengambil petunjuk dari sains madern, suatu sifat yang khusus yakni persesuaian yang sempurna dengan hasil sains modern. Lebih dari itu semua sebagaimana telah kita buktikan, Alquran mengandung pernyataan ilmiah yang sangat modern yang tidak masuk akal, jika dikatakan bahwa orang yang hidup pada waktu Alquran itu diwahyukan adalah pencetus-pensetusnya. Dengan begitu, maka pengetahuan ilmiah modern memungkinkan kita memahami ayat-ayat tertentu dalam Alquran yang sampai sekarang tidak dapat di tafsirkan.
Pendidikan Islam dapat kita kembangkan menjadi suatu agent of technologically and culturally motivating resources dalam berbagai model yang mampu mendobrak pola pikir tradisional yang pada dasarnya dogmatis, kurang dinamis, dan berkembang secara bebas. Pada prinsipnya nilai-nilai Islam tidak mengekang atau membelenggu pola pikir manusia dalam proses pengembangan ilmu pengetahuan. Relevan dengan hal tersebut adalah kemampuan berijtihad dalam segala bidang ilmu pengetahuan perlu dikembangkan terus-menerus. Yang menjadi permasalahan adalah tentang bagaimana kita membudidayakan ide-ide dan konsep-konsep keilmiahan yang bersumberkan kitab suci Alquran ke dalam educational engineering yang operasional dan fungsional sehingga dapat mengacu ke dalam perkembangan masyarakat yang makin dinamis.
Proses dialogis antara agama dan iptek harus dilangsungkan terus-menerus untuk membangun struktur dan kultur kehidupan stabil dan damai yang bersendikan iman dan takwa kepada Tuhan seru sekalian alam.
Peranan maksilmalnya mendasari dan memotivasi perkembangan iptek dengan iman, Islam, dan ihsan sehingga ia mengabdikan kepada kepentingan hidup manusia buka sebaliknya, manusia mengabdi kepada iptek.
Orientasi dasar pendidikan Islam, yang diletakkan oleh Rasulullah pada awal risalahnya ialah menumbuhkembangkan sistem kehidupan sosial yang penuh kebajikan dan kemakmuran (dengan amal saleh), meratakan kehidupan ekonomi yang bertumpu pada nilai-nilai moral tinggi; dan berorientasi kepada kebutuhan pendidikan yang mengembangkan daya kreativitas dan pola pikir intelektual bagi terbinanya tekno-sosial yang berkeadilan dan berkemakmuran. Ketiga dimensi oerientasi dasar tersebut menjadi modal pokok untuk mendinamisasikan umat manusia pada kurun waktu permulaan sejarah pendidikan Islam, yaitu pada zaman Nabi dan sahabat besar Nabi (khulafa’ ar-rasyidun). Pendidikan Islam benar-benar menggugah potensi alami manusia yang suci bersih sehingga mengacu kepada tuntutan aspiratif yang bercitra Ilahiah dan insaniah. Pendidikan Islam pada masa itu mampu menjadikan kaum muslimin sebagai pelaku positif terhadpa pembangunan diri pribadi dan masyarakatnya sehingga self-propelling dalam proses mencapai  baldatun thoyibatun wa rabbun ghafur.
Sendi-sendi yang mendasari kehidupan psikologis manusia, yaitu iman tauhid yang berdimensi ketakwaan yang monoloyal kepada Allah, berhasil mendorong dan di pacu untuk berperan nyata dalam segala bidang kehidupan yang melahirkan sikap hidup  fastabiqul khairat.
Menurut al-Ghazali, secara potensial pengetahuan itu telah eksis dalam jiwa manusia bagaikan benih yang ada di dalam tanah. Ia memandang bahwa sistem perkembangan kemampuan rasionalitas itu berdasarkan pola keseimbangan dengan kekuasaan Tuhan dan keseimbangan penalaran dengan pengalaman mistik yang memberikan ruang bagi bekerjanya rasio, serta keseimbangan antara berpikir edukatif dengan pengalaman empiris manusia.
Ibnu Khaldun berpandangan serupa dengan al-Ghazali. Menurutnya akal pikiran (rasio) merupakan kekuatan menciptakan kehidupan dan kerja sama dengan anggota-anggota masyarakat serta untuk menerima wahyu Tuhan melalui Rasul-Nya. Akal pikiran itulah yang menjadi dasar bagi kegiatan belajarnya. Ibnu Sina yang berpandangan idealistis dalam pendidikan lebih menekankan pembinaan akhlak atau moralitas. Namun dalam operasionalisasi kependidikan ia berpaham empiris.
Lebih lanjut Muhammad Abduh lebih mengedepankan kemampuan rasional dalam proses pemahaman ajaran Islam melalui pendidikan. Ia memandang bahwa peranan sistem pendidikan besar sekali bagi proses modernisasi kehidupan umat Islam. Pendidikan harus didasari dengan moral dan agama. Pendidikan agama diintegrasikan ke dalam ilmu pendidikan agama. Pendidikan dipandang sebagai alat yang paling efektif untuk mengadakan pembaruan atau perubahan.
Pokoknya semua ilmu duniawi dan ukhrawi diintegrasikan menjadi satu ilmu pengetahuan yang bulat, karena ilmu pengetahuan pada hakekatnya berasal dari Tuhan.
   
“ dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang Maha mengetahui”. (QS. Yusuf: 76)

Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”(QS. Al-Alaq: 5)

            Umat Islam harus mengubah sikap pandangannya  yang lama, yaitu dari pandangan terhadap lembaga pendidikan Islam hanya sebagai gudang ilmu atau transfer dan transmisi cultural menjadi sentra pengolahan ilmu yang alamiah dan ilmiah  yang mengacu kepada tuntutan masyarakat yang  thoyibah warabbun ghafur dapat terwujud.
            Oleh karena itu, berbagai model pendidikan Islam yang berorientasi perspektif ke masa depan merupakan jawaban yang tepat guna.
            Model-model pendidikan yang terbukti tidak memuaskan tuntutan umat terlihat pada praksisasinya sebagai berikut.
  1. Model pendidikan Islam yang berorientasi kepada pola pikir bahwa nilai-nilai yang konservatif dan asketis harus  dilestarikan dalam sosok pribadi muslim yang resisten terhadap pukulan gelombang zaman.
  2. Jika pendidikan Islam berorientasi kepada pola pikir bahwa nilai-nilai islami yang mengandung potensi mengubah nasib masa lampau ke masa kini yang dijadikan inti kurikulum pendidikan, maka model pendidikan Islam menjadi bercorak perenialistik di man nilai-nilai yang terbukti tahan lama saja yang diinternalisasikan ke dalam pribadi anak didik. Sedang nilai-nilai yang potensial bagi semangat pembaruan ditinggalkan.
  3. Bila pendidikan Islam hanya lebih berorientasi pada personalisasi kebutuhan pendidikan dalam segala aspeknya, maka ia bercorak individualistis, di mana potensi aloplastik (bersifat mengubah dan membangun) masyarakat dan alam sekitar kurang mengacu kepada kebutuhan sosiokultural.
  4. Jika pendidikan Islam berorientasi kepada masa depan sosio, masa depan tekno, dan masa depan bio, di mana ilmu dan teknologi menjadi pelaku perubahan dan pembaruan kehidupan sosial, maka pendidikan Islam bercorak teknologis, di mana nilai-nilai samawi ditinggalkan diganti dengan nilia-nilai pragmatik-realivistik kultural.
  5. Akan tetapi, jika pendidikan Islam yang berorientasi kepada perkembangan masyarakat berdasarkan proses dialogis di mana manusia di tempatkan sebagai geiger-counter, pendeteksi sinar radioaktif elemen-elemen sosial yang berpotensi kontroversial ganda, yaitu membahagiakan dan menyejahterakan. Maka mekanisme reaksi dalam perkembangan manusia menjadi gersang dari nilai-nilai Ilahi yang mendasari fitrah.
Dengan memperhatikan potensi psikologis dan pedagogis manusia anugerah Allah, model pendidikan Islam seharusnya berorientasi kepada pandangan falsafah sebagai berikut.
  1. Filosofis, memandang manusia didik adalah hamba Tuhan yang diberi kemampuan fitrah, dinamis, dan sosial-religius serta yang psiko-fisik.
  2. Etimologis, potensi berilmu pengetahuan yang berpijak pada iman dan berilmu pengetahuan untuk menegakkan iman yang bertauhid, yang basyariyah dharuriah, manjadi shibghah  manusia muslim sejati berderajat mulia.
  3. Pedagogis, manusia adalah makhluk belajar sejak dari ayunan sampai liang lahat yang proses perkembangannya didasari nilai-nilai islami yang dialogis terhadap tuntutan Tuhan dan tuntutan perubahan sosial, lebih cenderung kepada pola hidup yang harmonis antara kepentingan duniawi dan ukhrawi, serta kemampuan belajarnya disemangati oleh misi kekhalifahan di muka bumi.
Secara kurikuler model pendidikan tersebut didesain menjadi:
  1. Content: lebih di fokuskan pada permasalahan sosiokultural masa kini untuk diproyeksikan ke masa depan, dengan kemampuan anak didik mengungkapkan tujuan dan nilai-nilai yang inheren dengan tuntutan Tuhan.
  2. Pendidik: bertanggung jawab terhadap penciptaan situasi komunitas yang dialogis interdependen dan terpercaya.
  3. Anak didik: dalam proses belajar mengajar melakukan hubungan dialogis dengan yang lain.

makalah Pendidikan dalam Islam

BAB I
PENDAHULUAN

1.1        Latar Belakang
Pengetahuan intelektual dan teknologi yang berkembang sepanjang sejarah hingga sekarang menunjukkan penggalian ilmu dan proses pendidikan yang bergerak berkesinambungan dan tidak putus pada suatu zaman, bahkan berkembang pesat pada abad ini. Orang-orang yang memiliki kepercayaan tentang kekuatan pendidikan akan merealisasikan cita-cita mereka menuju kenyataan. Sebaliknya mereka yang tidak percaya dan tidak memiliki kesadaran untuk memiliki pengetahuan dan menangkap pendidikan akan terancam tergeser dari lingkungan peradaban yang terus berkembang. Pendidikan sudah merupakan kebutuhan umat manusia, tidak pandang kasta atau harta. Pendidikan bukan suatu hal yang mewah, karena memang seharusnya pendidikan itu dirasakan oleh setiap individu yang mau mempelajari sesuatu yang dapat berguna untuk menjalani hidup-hidup mereka. Pendidikan melatih individu untuk terjun ke dalam masyarakat. Perkembangan peradaban sejalan dengan perkembangan pendidikan yang semakin pesat, kemajuan teknologi dan proses komunikasi semakin membantu ilmu dan pengetahuan masuk ke dalam lingkup yang cenderung lebih besar dari peradaban sebelumnya. Pengetahuan dan ilmu tidak serta merta didapat dari suatu proses yang instan, namun ada suatu proses panjang yang memungkinkan pertambahan kompleksitas masalah dan paradigma yang terdapat di dalamnya. Kemampuan memproses masukkan ilmu dan pengetahuan dalam diri seseorang berbeda-beda. Maka, pendidikan harus melalui proses yang panjang untuk membentuk karakteristik seorang individu agar siap masuk ke dalam lingkungan masyarakat yang beragam. Melalui pendidikan, banyak hal yang dapat di sampaikan, melalui pendidikan juga ada pewarisan budaya di dalamnya yang dapat diturunkan ke generasi berikutnya.
Pendidikan yang dibentuk di atas kriteria agama, mencapai keberhasilan paling unggul dalam masyarakat. Ia menghilangkan berbagai ketegangan serta pemberontakan, dan menetapkan individu untuk hidup secara wajar dalam lingkungan mereka. Dengan jelas dan gamblang, ayat-ayat Al-Qur’an menekankan bahwa pengetahuan serta perkembangan intelektual diperoleh melalui usaha serta pembelajaran dan diterima melalui pendengaran, penglihatan, serta nalar. [1][1]
Pendidikan merupakan sarana yang tepat sebagai dasar pengembangan kepribadian dan pemikiran intelektual manusia. Melalui sebuah proses pendidikan yang dilandasi Islam, seorang manusia dapat berpikir tentang penciptaan alam semesta beserta isinya dengan merujuk pada Al-Qur’an dan Hadis sebagai pedoman dalam mendapatkan ilmu pengetahuan.
Pendidikan agama merupakan hal terpenting, sebab melalui pendidikan agama dapat dipusatkan perhatian pada perbaikan spiritual, disiplin diri, serta perbaikan tingkah laku. Ketika seorang individu menguatkan bahwa agama mendukung individu-individu dengan kekuatan iman, intelektual, serta ketelitian. Kekuatan inilah yang membentuk kekuatan spiritual yang menghasilkan berbagai kemuliaan dalam akal. Inilah yang benar-benar menjadi tujuan manusia yang baik yang pantas di kejar.
1.2        Tujuan
Makalah yang berjudul “Pendidikan dalam Islam” ini bertujuan:
1.      Untuk memberikan informasi kepada pembaca bagaimana Pendidikan seharusnya dalam Islam.
2.      Menginformasikan pula dengan menunjukkan komponen-komponen yang terdapat di dalamnya.
3.      Memberikan gambaran kepada para pembaca tentang paradigma pengembangan pendidikan dalam Islam dan pendidikan yang sedang di laksanakan pada kurikulum yang terdapat di Indonesia.
BAB II
ISI

2.1        Pengertian Pendidikan Secara Umum
Pendidikan berasal dari kata pedagogi (paedagogie, Bahasa Latin) yang berarti pendidikan dan kata pedagogia (paedagogik) yang berarti ilmu pendidikan yang berasal dari bahasa Yunani. Pedagogia terdiri dari dua kata yaitu ‘Paedos’ dan ‘Agoge’ yang berarti saya membimbing, memimpin anak. Sedangkan paedagogos ialah seorang pelayan pada zaman Yunani Kuno yang pekerjaannya mengantar dan menjemput anak-anak siswa ke dan dari sekolah. Perkataan paedagogos yang semula berkonotasi rendah (pelayan, pembantu) ini, kemudian sekarang dipakai untuk nama pekerjaan yang mulia yakni paedagoog (pendidik atau ahli didik atau guru). Dari sudut pandang ini pendidikan dapat diartikan sebagai kegiatan seseorang dalam membimbing dan memimpin anak menuju ke pertumbuhan dan perkembangan secara optimal agar dapat berdiri sendiri dan bertanggung jawab.
Pendidikan berkaitan erat dengan segala sesuatu yang bertalian dengan perkembangan manusia mulai perkembangan fisik, kesehatan, keterampilan, pikiran, perasaan, kemauan, sosial, sampai kepada perkembangan Iman. Perkembangan ini mengacu kepada membuat manusia menjadi lebih sempurna, membuat manusia meningkatkan hidupnya dan kehidupan alamiah menjadi berbudaya dan bermoral.
Sebagaimana dikutip oleh Ahmad Tafsir, Rupert C. Lodge dalam bukunya Philosophy of Education (New York : Harer & Brothers. 1974 : 23) menyatakan bahwa dalam pengertian yang luas pendidikan itu menyangkut seluruh pengalaman. Namun  faktanya bahwa tidak semua pengalaman dapat dikatakan pendidikan. Mencuri, mencopet, korupsi dan membolos misalnya, bagi orang yang pernah melakukannya tentunya memiliki sejumlah pengalaman, tetapi pengalaman itu tidak dapat dikatakan pendidikan. Karena pendidikan itu memiliki tujuan yang mulia, baik dihadapan manusia maupun dihadapan Tuhan.
Banyak rumusan pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya:
a.               John Dewey : pendidikan merupakan suatu proses pembentukan kecakapan mendasar secara intelektual dan emosional sesama manusia. 
b.              JJ. Rouseau : Pendidikan merupakan pemberian bekal kepada kita apa yang tidak kita butuhkan pada masa kanak-kanak, akan tetapi kita butuhkan pada saat dewasa. 
c.               M. J. Langeveld : Pendidikan merupkan setiap usaha yang dilakukan untuk mempengaruhi dan membimbing anak ke arah kedewasaan, agar anak cekatan melaksanakan tugas hidupnya sendiri. Menurut Langeveld pendidikan hanya berlangsung dalam suasana pergaulan antara orang yang sudah dewasa (atau yang diciptakan orang dewasa seperti : sekolah, buku model dan sebagainya) dengan orang yang belum dewasa yang diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan.
d.              John S. Brubacher : Pendidikan merupakan proses timbal balik dari tiap individu manusia dalam rangka penyesuaian dirinya dengan alam, dengan teman dan dengan alam semesta. 
e.               Kingsley Price mengemukakan: Pendidikan adalah proses yang berbentuk non fisik dari unsur-unsur budaya yang dipelihara atau dikembangkan dalam mengasuh anak-anak muda atau dalam pembelajaran orang dewasa.
f.               Mortimer J. Adler : pendidikan adalah proses dimana semua kemampuan manusia (bakat dan kemampuan yang diperoleh) yang dapat dipengaruhi oleh pembiasaan, disempurnakan dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik melalui sarana yang secara artistik dibuat dan dipakai oleh siapa pun untuk membantu orang lain atau dirinya sendiri mencapai tujuan yang ditetapkan, yaitu kebiasaan yang baik.
Definisi di atas dapat dibuktikan kebenarannya oleh filsafat pendidikan, terutama yang menyangkut permasalahan hidup manusia, dengan kemampuan-kemampuan asli dan yang diperoleh atau tentang bagaimana proses mempengaruhi perkembangannya harus dilakukan. Suatu pandangan atau pengertian tentang hal-hal yang berkaitan dengan objek pembahasan menjadi pola dasar yang memberi corak berpikir ahli pikir yang bersangkutan. Bahkan arahnya pun dapat dikenali juga.
             Dari berbagai pandangan di atas dapat dilihat bahwa dikalangan pakar pendidikan sendiri masih terdapat perbedaan-perbedaan pendapat. Hal ini disebabkan oleh latar belakang pendidikan ahli pendidikan itu dan kondisi pendidikan yang diperbincangkan saat itu, yang semuanya memiliki perbedaan karakter dan permasalahan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan usaha yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan terencana (bertahap) dalam meningkatkan potensi diri peserta didik dalam segala aspeknya menuju terbentuknya kepribadian dan akhlak mulia dengan menggunakan media dan metode pembelajaran yang tepat guna melaksanakan tugas hidupnya sehingga dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
2.2        Pengertian Pendidikan Islam
Dari berbagai literatur terdapat berbagai macam pengertian pendidikan Islam. Menurut Athiyah Al-Abrasy, pendidikan Islam adalah mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya, pola pikirnya teratur dengan rapi, perasaannya halus, profesional dalam bekerja dan manis tutur sapanya. Sedang Ahmad D. Marimba memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Sedangkan menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas, pendidikan adalah suatu proses penamaan sesuatu ke dalam diri manusia mengacu kepada metode dan sistem penamaan secara bertahap, dan kepada manusia penerima proses dan kandungan pendidikan tersebut.1
Dari definisi dan pengertian itu ada tiga unsur yang membentuk pendidikan yaitu adanya proses, kandungan, dan penerima. Kemudian disimpulkan lebih lanjut yaitu "sesuatu yang secara bertahap ditanamkan ke dalam diri manusia".
Jadi definisi pendidikan Islam adalah pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia, tentang tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian. Jadi pendidikan ini hanyalah untuk manusia saja.
Kembali kepada definisi pendidikan Islam yang menurut Al-Attas diperuntukkan untuk manusia saja. Menurutnya pendidikan Islam dimasukkan dalam At-ta'dib, karena istilah ini paling tepat digunakan untuk menggambarkan pengertian pendidikan itu, sementara istilah tarbiyah terlalu luas karena pendidikan dalam istilah ini mancakup juga pendidikan kepada hewan. Menurut Al-Attas Adabun berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hirarkis sesuai dengan beberapa tingkat dan tingkatan derajat mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kepastian dan potensi jasmaniah, intelektual, maupun rohaniah seseorang.
Dari pengertian Al-Attas tersebut dibutuhkan pemahaman yang mendalam, arti dari pengertian itu adalah, "pengenalan" adalah menemukan tempat yang tepat sehubungan dengan apa yang dikenali, sedangkan "pengakuan" merupakan tindakan yang bertalian dengan pengenalan tadi. Pengenalan tanpa pengakuan adalah kecongkakan, dan pengakuan tanpa pengenalan adalah kejahilan belaka. Dengan kata lain ilmu dengan amal haruslah seiring. Ilmu tanpa amal maupun amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan. Kemudian tempat yang tepat adalah kedudukan dan kondisinya dalam kehidupan sehubungan dengan dirinya, keluarga, kelompok, komunitas dan masyarakatnya, maksudnya dalam mengaktualisasikan dirinya harus berdasarkan kriteria Al-Quran tentang ilmu, akal, dan kebaikan (ihsan) yang selanjutnya mesti bertindak sesuai dengan ilmu pengetahuan secara positif.
Dalam pandangan Al-Attas pendidikan Islam harus terlebih dahulu diberikan kepada manusia sebagai  peserta didik, pendidikan tersebut berupa pengetahuan tentang manusia disusul dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya. Dengan demikian dia akan tahu jati dirinya dengan benar, tahu "dari mana dia, sedang dimana dia, dan mau kemana dia kelak". Jika ia tahu jati dirinya, maka ia akan selalu ingat dan sadar serta mampu dalam memposisikan dirinya, baik terhadap sesama makhluk, dan yang terlebih lagi kepada Allah SWT. Ketiga realita yaitu, manusia, alam, dan Tuhan diakui keberadaannya, dengan Tuhan sebagai sumber dari segalanya (alam dan manusia). Tuhan dapat dipahami sebagaimana dinformasikan dalam Al-Quran sebagai Rabb al-Alamin, dan Rabb al-Nass. Amrullah Ahmad menilai bahwa dalam definisi pendidikan Al- Attas mengandung proses pengajaran seseorang dalam tatanan kosmis dan sosial yang akan mengantarkannya untuk menemukan fungsinya sebagi kholifah.
Bila pendidikan diartikan sebagai latihan mental, moral, dan fisik yang bisa menghasilkan manusia berbudaya tinggi maka pendidikan berarti menumbuhkan personalitas (kepribadian) serta menanamkan rasa tanggung jawab.
Oleh karena itu, bila manusia berpredikat muslim, benar-benar akan menjadi penganut agama yang baik, menaati ajaran Islam dan menjaga agar rahmat Allah tetap berada pada dirinya. Ia harus mampu memahami, menghayati, dan mengamalkan ajarannya sesuai iman dan akidah islamiah.
Untuk tujuan itulah manusia harus di didik melalui proses pendidikan Islam. Berdasarkan pandangan diatas pendidikan Islam berarti sistem pendidikan yang dapat memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilai Islam yang telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya.
Dengan demikian pengertian pendidikan Islam adalah suatu sistem kependidikan yang mencangkup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah, sebagaimana Islam telah menjadi pedoman bagi seluruh aspek kehidupan manusia, baik duniawi maupun ukhrawi.
2.3        Fungsi Pendidikan
Fungsi pendidikan adalah menghilangkan segala sumber penderitaan rakyat dari kebodohan dan ketertinggalan. Sedangkan menurut UUSPN No.20 tahun 2003 menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Secara umum fungsi lingkungan pendidikan adalah membantu peserta didik dalam interaksi dengan berbagai lingkungan sekitarnya, utamanya berbagai sumber daya pendidikan yang tersedia, agar dapat mencapai tujuan pendidikan yang optimal.
Dilihat dari segi anak didik, tampak bahwa anak didik secara tetap hidup di dalam lingkungan masyarakat tertentu tempat ia mengalami pendidikan. Menurut Ki Hajar Dewantara lingkungan tersebut meliputi lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat, yang disebut tripusat pendidikan.
1.              Keluarga
Keluarga merupakan lembaga pendidikan tertua, bersifat informal, yang pertama dan utama di alami oleh anak serta lembaga pendidikan yang bersifat kodrati orang tua bertanggung jawab memelihara, merawat, melindungi, dan mendidik anak agar tumbuh dan berkembang dengan baik.
2.              Sekolah
Tidak semua tugas mendidik dapat dilaksanakan oleh orang tua dalam keluarga, terutama dalam hal ilmu pengetahuan dan berbagai macam keterampilan. Oleh karena itu dikirimkan anak ke sekolah. Sekolah bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak selama mereka diserahkan kepadanya. Karena itu sebagai sumbangan sekolah sebagai  lembaga terhadap pendidikan, diantaranya sebagai berikut; 
·             Sekolah membantu orang tua mengerjakan kebiasaan-kebiasaan yang baik serta menanamkan budi pekerti yang baik.
·             Sekolah memberikan pendidikan untuk kehidupan di dalam masyarakat yang sukar atau tidak dapat diberikan di rumah.
·             Sekolah melatih anak-anak memperoleh keterampilan seperti membaca, menulis, berhitung, menggambar serta ilmu-ilmu lain sifatnya mengembangkan kecerdasan dan pengetahuan.
·             Di sekolah diberikan pelajaran etika, keagamaan, estetika, membenarkan benar atau salah, dan sebagainya.

3.              Masyarakat
Pendidikan yang dialami dalam masyarakat ini, telah mulai ketika anak-anak untuk beberapa waktu setelah lepas dari asuhan keluarga dan berada di luar dari pendidikan sekolah. Dengan demikian, berarti pengaruh pendidikan tersebut tampaknya lebih luas. Corak dan raga pendidikan yang dialami seseorang dalam masyarakat banyak sekali, ini meliputi segala bidang, baik pembentukan kebiasaan-kebiasaan, pembentukan pengertian-pengertian (pengetahuan), sikap dan minat, maupun pembentukan kesusilaan dan keagamaan.
Manfaat Pendidikan
Secara umum manfaat pendidikan berorientasi pada kecakapan hidup bagi peserta didik adalah sebagai bekal dalam menghadapi dan memecahkan masalah hidup dan kehidupan, baik sebagai pribadi yang mandiri, warga masyarakat, maupun sebagai warga negara. Jika hal itu dapat dicapai, maka faktor ketergantungan terhadap lapangan pekerjaan yang sudah ada dapat diturunkan, yang berarti produktivitas nasional akan meningkat secara bertahap.
2.4        Konsep Pendidikan Dalam Islam
Merujuk kepada informasi al-Qur’an pendidikan mencakup segala aspek jagat raya ini, bukan hanya terbatas pada manusia semata, yakni dengan menempatkan Allah sebagai Pendidik Yang Maha Agung. Konsep pendidikan al-Qur’an sejalan dengan konsep pendidikan Islam yang dipresentasikan melalui kata tarbiyah, ta’lim dan ta’dib.
Tarbiyah berasal dari kata Robba, pada hakikatnya merujuk kepada Allah selaku Murabby (pendidik) sekalian alam. Kata Rabb (Tuhan) dan Murabby (pendidik) berasal dari akar kata seperti termuat dalam ayat al-Qur’an:
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرا ً
Artinya: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (Q.S. Al-Israa:24)
Menurut Syed Naquib Al-Attas, al-tarbiyah mengandung pengertian mendidik, memelihara menjaga dan membina semua ciptaan-Nya termasuk manusia, binatang dan tumbuhan (Jalaluddin, 2003: 115). Sedangkan Samsul Nizar menjelaskan kata al-tarbiyah mengandung arti mengasuh, bertanggung jawab, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membesarkan, menumbuhkan dan memproduksi baik yang mencakup kepada aspek jasmaniah maupun rohaniah (Samsul Nizar, 2001, 87).
Kata Rabb di dalam Al-Qur’an diulang sebanyak 169 kali dan dihubungkan pada obyek-obyek yang sangat banyak. Kata Rabb ini juga sering dikaitkan dengan kata alam, sesuatu selain Tuhan. Pengkaitan kata Rabb dengan kata alam tersebut seperti pada surat Al-A’raf ayat 61:
قَالَ يَاقَوْمِ لَيْسَ بِي ضَلاَلَة ٌ وَلَكِنِّي رَسُول ٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Artinya: “Nuh menjawab: Hai kaumku, tak ada padaku kesesatan sedikitpun tetapi aku adalah utusan Tuhan semesta alam.”
Pendidikan diistilahkan dengan  ta’dib, yang berasal dari kata kerja “addaba” . Kata al-ta’dib diartikan kepada proses mendidik yang lebih tertuju pada pembinaan dan penyempurnaan akhlak atau budi pekerti peserta didik (Samsul Nizar, 2001: 90). Kata ta’dib tidak dijumpai langsung dalam al-Qur’an, tetapi pada tingkat operasional, pendidikan dapat dilihat pada praktek yang dilakukan oleh Rasulullah. Rasul sebagai pendidik agung dalam pandangan pendidikan Islam, sejalan dengan tujuan Allah mengutus beliau kepada manusia yaitu untuk menyempurnakan akhlak.
Allah juga menjelaskan, bahwa sesungguhnya Rasul adalah contoh teladan bagi kamu sekalian.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَة ٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرا
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”(Q.S. Al-Ahzab, 21)
Selanjutnya Rasulullah Saw meneruskan wewenang dan tanggung jawab tersebut kepada kedua orang tua selaku pendidik kodrati. Dengan demikian status orang tua sebagai pendidik didasarkan atas tanggung jawab keagamaan, yaitu dalam bentuk kewajiban orang tua terhadap anak, mencakup memelihara dan membimbing anak, dan memberikan pendidikan akhlak kepada keluarga dan anak-anak.
Pendidikan disebut dengan ta’lim yang berasal dari kata ‘alama berkonotasi pembelajaran yaitu semacam proses transfer ilmu pengetahuan. Dalam kaitan pendidikan ta’lim dipahami sebagai sebagai proses bimbingan yang dititikberatkan pada aspek peningkatan intelektualitas peserta didik (Jalaluddin, 2003: 133). Proses pembelajaran ta’lim secara simbolis dinyatakan dalam informasi al-Qur’an ketika penciptaan Adam As oleh Allah Swt. Adam As sebagai cikal bakal dari makhluk berperadaban (manusia) menerima pemahaman tentang konsep ilmu pengetahuan langsung dari Allah Swt, sedang dirinya (Adam As) sama sekali kosong. Sebagaimana tertulis dalam surat al-Baqarah ayat 31 dan 32:
وَعَلَّمَ آدَمَ الأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَاؤُلاَء إِنْ كُنتُمْ صَادِقِينَ
Artinya: “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar.”
قَالُوا سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
Artinya: “ Mereka menjawab, “Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Dari ketiga konsep diatas, terlihat hubungan antara tarbiyah, ta’lim dan ta’dib. Ketiga konsep tersebut menunjukkan hubungan teologis  (nilai tauhid) dan teleologis (tujuan) dalam pendidikan Islam sesuai al-Qur’an yaitu membentuk akhlak al-karimah.

2.5        Sistem Pendidikan Dalam Islam
Definisi sistem adalah seperangkat komponen atau unsur-unsur yang saling berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan. Menurut Roger A Kanfman definisi sistem adalah suatu totalitas yang tersusun dari bagian-bagian yang bekerja secara sendiri-sendiri atau bersama-sama untuk mencapai hasil atau tujuan yang diinginkan berdasarkan kebutuhan. Namun menurut Mc Ashan sistem didefinisikan sebagai strategi yang menyeluruh atau rencana diskomposisi oleh satu set elemen, yang harmonis, merepresentasikan kesatuan unit, masing-masing elemen, yang mempunyai tujuan tersendiri yang semuanya berkaitan terurut dalam bentuk yang logis. Berbeda lagi menurut Immegart, ia mendefinisikan sistem adalah suatu keseluruhan yang memiliki bagian-bagian yang tersusun secara sistematis, bagian-bagian itu terelasi antara satu dengan yang lain, serta peduli terhadap konteks lingkungannya.
Ciri-Ciri Suatu Sistem dan Komponennya Suatu teori sistem menurut Reja Mudyahardjo mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.          Keseluruhan adalah hal yang utama dan bagian-bagian adalah hal yang kedua.
2.          Integrasi adalah kondisi saling hubungan antara bagian-bagian dalam satu sistem.
3.          Bagian-bagian membentuk sebuah keseluruhan yang tak dapat dipisisahkan.
4.          Bagian-bagian memainkan peran mereka dalam kesatuannya untuk mencapai tujuan dari keseluruhan.
5.          Sifat bagian dan fungsinya dalam keseluruhan dan tingkah lakunya diatur oleh keseluruhan terhadap hubungan-hubungan bagiannya.
6.          Keseluruhan adalah sebuah sistem atau sebuah kompleks atau sebuah konfigurasi dari energi dan berperilaku seperti sesuatu unsur tunggal yang tidak kompleks.
7.          Segala sesuatu haruslah dimulai dari keseluruhan sebagai suatu dasar, dan bagian-bagian serta hubungan-hubungan; baru kemudian terjadi secara berangsur-angsur.
Bila diaplikasikan dalam sistem pendidikan maka komponen-komponennya pendidikan seperti yang dikemukakan para pakar sebagai berikut:
1.          Noeng Muhadjir membagi komponen sistem kepada tiga kategori yaitu :
·     Bertolak dari lima unsur dasar pendidikan, meliputi : yang memberi, yang menerima, tujuan, cara/jalan, dan konteks positif.
·     Bertolak dari empat komponen pokok pendidikan, yaitu  kurikulum, subjek didik, personifikasi pendidik, dan konteks belajar mengajar.
·     Bertolak dari tiga fungsi pendidikan , yaitu pendidikan kreativitas, pendidikan moralitas, dan pendidikan prokduktivitas.
2.          Selanjutnya sumber lain menyebutkan terdapat tiga unsur sistem :
·     Kegiatan pendidikan yang meliputi: pendidikan diri sendiri, pendidikan oleh lingkungan, pendidikan oleh seseorang terhadap orang lain.
·     Binaan pendidikan, mencakup: dasar, tujuan, materi, metode, media, evaluasi, administrasi biasa, dana, dan sebagainya.
·     Tempat pendidikan, mencakup: rumah tangga, sekolah, dan masyarakat.
Menurut Redja Mudyaharja, sistem tersebut ada yang tertutup dan ada yang terbuka.
A.    Sistem Tertutup
        Sistem yang struktur organisasinya bagian-bagiannya tidak mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan, sekurang-kurangnya dalam jangka waktu pendek. Struktur bagian-bagian tersusun secara tetap dan bentuk operasinya berjalan otomatis.
B.     Sistem Terbuka
        Sistem yang struktur bagian-bagiannya terus menyesuaikan diri dengan masukan dari lingkungan yang terus-menerus berubah-ubah, dalam usaha dapat mencapai kapasitas optimalnya. Struktur bagian-bagian bersifat lentur dan bentuk operasinya yang dinamis, karena bagian-bagian dalam sistem dapat berubah karakteristiknya dan posisinya.
Pendidikan Islam dalam satu sisi bisa dikategorikan sebagai sistem tertutup karena ada prinsip-prinsip dasar dalam sistem tersebut yang sudah baku yaitu al-Quran dan Hadis, tapi dalam sisi lain sistem pendidikan Islam dikategorikan sebagai sistem terbuka karena dalam perkembangannya selalu berkaitan erat dengan berbagai sistem dalam kehidupan masyarakat, seperti sistem ekonomi, politik, sistem sosial budaya dari masyarakat yang mempengaruhi sistem pendidikan Islam.
Sebagai sebuah Sistem, pendidikan Islam berbeda dengan sistem pendidikan lainnya, bahkan lebih unggul daripada sistem pendidikan non-Islam, sebab pendidikan Islam memiliki dua model, yaitu: (1) model idealistis dan (2) model pragmatis.
·         Model Idealistis
Model idealistis adalah model yang lebih mengutamakan penggalian sistem pendididkan Islam dari ajaran dasar Islam sendiri, yaitu al-Quran dan Hadis yang mengandung prinsip-prinsip pokok berbagai aspek kehidupan, termasuk aspek pendidikan. Menurut Azyumardi Azra, dasar-dasar pembentukan dan pengembangan pendidikan Islam yang pertama dan utama adalah al-Quran dan Sunnah. Model ini menggunakan pola deduktif, dengan membangun premis mayor yang dikajidari nash. Bangunan premis mayor ini dijadikan sebagai “ kebenaran universal dan mutlak “ untuk diterapkan pada premis minornya. Dari proses ini akhirnya mendapatkan konklusi mengenai sistem pendidikan Islam.
·         Model Pragmatasi
Model pragmatasi adalah model yang lebih mengutamakan aspek pratktis dan kegunaannya. Artinya, formulasi sistem pendidikan Islam itu diambil dari sistem pendididkan kontemporer yang telah mapan. Apa saja yang terdapat pada pendidikan kontemporer dapat dikembangkan dalam pendidikan Islam, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar yang terdapat dalam al-Quran dan Sunnah.
Model pragmatis ini paling banyak diminati pakar pendidikan Islam. Di samping efektivitas dan efisiensinya, model ini telah teruji ke-unggulanya. Sistem pendidikan Islam yang dikembangkan melalui model ini memiliki posisi tersendiri bahkan mampu menjadi alternatif bagi keberadaan sistem pendidikan kontemporer.
Tentunya terdapat perbedaan antara sistem pendidikan Islam dengan sistem pendidikan non-islam, diantaranya:
§  Sistem Ideologi
Islam memiliki idiologi al-tauhid yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan non-Islam memiliki berbagai macam ideologi yang bersumber dari isme-isme materialis, komunis, ateis, sosialis, kapitalis, dan sebagainya. Dengan begitu maka perbedaan kedua sistem tersebut adalah muatan ideologi yang mendasarinya.
Apabila ide pokok ideologi Islam berupa al-tauhid, maka setiap komponen dan tindakan sistem pendidikan Islam harus berdasarkan al-tauhid pula makna tauhid bukan hanya sekedar meng-Esakan Tuhan seperti yang dipahami oleh kaum monoteis, melainkan juga meyakinkan kesatuan penciptaan, kesatuan kemanusiaan, kesatuan tujuan hidup. Dengan kerangka dasar al-tauhid ini maka dalam pedidikan Islam tidak akan ditemui tindakan dualisme, dan sekuralis. Sistem pendidikan Islam menghendaki adanya intergralistik yang menyatukan kebutuhan dunia dan akhirat, jasmani dan rohani, materil dan spiritual, individu dan sosial yang dijiwai dan dinafasi oleh roh tauhid.
§  Sistem Nilai
Pendidikan Islam bersumber dari nilai al-Qur’an dan Sunnah, sedang pendidikan non-Islam bersumber dari nilai yang lain. Formulasi ini relevan dengan kesimpulan di atas, sebab dalam ideologi Islam itu bermuatan nilai-nilai dasar al-Qur’an dan Sunnah, sebagai sumber asal dan ijtihad sebagai sumber tambahan. Pendidikan non-Islam sebenarnya ada juga sumber nilainya, namun sumber nilainya hanya dari hasil pemikiran, hasil penelitian para ahli, dan adat kebiasaan masyarakat. Dalam pendidikan Islam nila-nilai yang diambil dalam al-Quran dan Sunnah tersebut diinternalisasi kepada peserta didik melalui proses pendidikan.
§  Sistem Pendidikan
Pendidikan Islam berorientasi kepada duniawi dan ukhrawi, sedangkan pendidikan non-Islam, orientasinya duniawi semata. Di dalam Islam kehidupan akhirat merupakan kelanjutan dari kehidupan dunia, bahkan satu mutu kehidupan akhirat konsekuensi dari mutu kehidupan dunia. Segala perbuatan muslim dalam bidang apapun memiliki kaitannya dengan akhirat.
Berdasarkan hal tersebut pendidikan Islam berfungsi untuk menghasilkan manusia yang dapat menempuh kehidupan yang indah di dunia maupun di akhirat serta terhindar dari siksaan Allah yang maha pedih. Berbeda dengan pendidikan Barat yang bertolak dari filsafat pragmatisme, yaitu yang mengukur kebenaran menurut kepentingan waktu, tempat dan situasi, dan berakhir pada garis hayat. Fisafat ilmunya adalah kegunaan/utilitas. Fungsi pendidikan tidaklah sampai untuk menciptakan manusia yang dapat menempuh kehidupan yang indah di akhirat, akan tetapi terbatas pada kehidupan duniawiyah semata.
Prinsip-Prinsip Sistem Pendidikan Islam
Dasar pendidikan Islam seperti yang dikemukakan oleh Ahmad D. marimba, adalah Al Quran dan Hadis Nabi yang merupakan sumber pokok ajaran Islam. Al-Syaibani memperluas lagi dasar tersebut mencakup ijtihad, pendapat, peninggalan, keputusan-keputusan dan amalan-amalan para ulama yang terdahulu di kalangan umat Islam. Prinsip pendidikan Islam juga ditegakkan di atas dasar yang sama dan berpangkal dari pandangan Islam secara filosofis terhadap jagad raya, manusia, masyarakat, ilmu pengetahuan dan akhlak.
1.      Prinsip Pendidikan Islam Merupakan Implikasi Dari Karakteristik Manusia Menurut Islam
Implikasi dalam pendidikan adalah bahwa pencapaian tujuan pendidikan Islam faktor peserta didik merupakan hal mutlak yang perlu diperhatikan. Supaya seorang pendidik berhasil dalam pendidikannya maka harus ada konsep yang jelas tentang karakter fitrahnya, walaupun kita mengakui peranan lingkungan dalam akan tetapi lingkungan bukan satu-satunya faktor yang paling menentukan. Fitrah manusia juga memerlukan keseimbangan dalam rangka memperkuat hubungan manusia dengan sesama. Oleh karena itu diperlukan pendekatan Qur’ani sedangkan pendekatan empirik dan rasional falsafi hanya di perlukan sebagai jalan untuk memahami wahyu yang kebenaranya bersifat absolut.
2.      Prinsip Pendidikan Islam adalah Pendidikan Integral dan Terpadu
Pendidikan Islam tidak mengenal adanya pemisahan antara sains dan agama. Penyatuan antara kedua sistem pendidikan adalah tuntutan akidah Islam.implikasi dalam pendidikan adalah bahwa dalam pendidikan Islam tidak dibenarkan adanya dikotomi pendidikan yaitu antara pendidikan agama dengan pendidikan sains. Para pendidik harus dapat memaham Islam sebagai a total way of life yang dapat mengatur berbagai aspek kehidupan manusia. Kalau dikotomi itu tidak dapat di hindari, minimal seorang pendidik harus dapat melakukan perubahan orientasi mengenal konsep  “ilmu” yang secara langsung dikaitkan dengan dalil keagamaan, dan sebaliknya ajaran agama dikorelasikan dengan ilmu pengetahuan sehingga wawasan peserta didik anak didik nyatu dalam agama dan ilmu pengetahuan.
3.    Prinsip Pendidikan Islam adalah Pendidikan yang Seimbang
Pandangan Islam yang menyeluruh terhadap semua aspek kehidupan mewujudkan adanya keseimbangan. Ada beberapa prinsip keseimbangan yang mendasari pendidikan Islam yaitu :
  • Keseimbangan antara kehidupan duniawi dan ukhrawi
        Kemajuan yang ingin dicapai dalam pendidikan Islam tidaklah diukur dengan penguasaan atau supremasi atas segala kepentingan duniawi saja akan tetapi sampai dimana kehidupan duniawi memberikan aset untuk kehidupan di akhirat kelak.
  • Keseimbangan antara jasmani dan rohani
        Pendidikan Islam memperhatikan perbedaan fisik dan psikis seorang sebagai salah satu faktor yang harus di pertimbangkan dalam menyusun program kependidikan. Prinsip ini didasarkan atas pandangan filosofis bahwa tujuan pendidikan pada hakekatnya adalah untuk menumbuh kembangkan aspek fisik dan psikis anak. Kenyataan menunjukan bahwa ada perbedaan potensi yang dibawa oleh anak dalam kedua aspek tersebut. Oleh karena itu pendidikan Islam bertanggung jawab dalam pertimbangan setiap individu anak sesuai dengan tabiat masing-masing.
  • Keseimbangan antara individu dan masyarakat
        Dalam segi lain pendidikan Islam berusaha pula mengembangkan aspek kemasyarakatan berupa kasih mengasihi, hormat menghormati sesama mulim.
        Implikasi dalam pendidikan adalah bahwa dalam pembentukan kepribadian yang harmonis sebagai tujuan akhir pendidikan Islam prinsip keseimbangan harus diperhatikan. Kepribadian yang harmonis kalau segala aspek-aspeknya bekerja seimbang. Faktor yang mempengaruhi pembentukan kepribadian seperti lingkungan masyarakat, alam sekitar, kebudayaan, dimana anak didik itu berada ditambah dengan faktor anak didik itu sendiri.
4.      Prinsip Pendidikan Islam adalah Pendidikan yang Universal
Prinsip ini maksudnya adalah pandangan yang menyeluruh pada seluruh aspek kehidupan manusia. Agama Islam yang menjadi dasar pendidikan Islam itu bersifat menyeluruh terhadap wujud, alam jagad, dan hidup. Tujuannya adalah untuk menumbuhkan, mengembangkan, dan membangun segala aspek kepribadian manusia dan segala potensi dan dayanya. Juga mengembangkan segala segi kehidupan dalam masyarakat, seperti social budaya, ekonomi, politik, dan berusaha turut serta menyelesaikan masalah-masalah masyarakat kini dan bersiap menghadapi tuntutan masa depan dan memelihara sejarah dan kebudayaan. Implikasi dalam pendidikan adalah bahwa pendidikan Islam haruslah meliputi seluruh dimensi kehidupan manusia dan tidak boleh hanya memberi penekanan hanya kepada satu dimensi saja dan meninggal kan dimensi yang lainnya.
5.      Prinsip Pendidikan Islam adalah Pendidikan yang Dinamis
Pendidikan Islam dalam prinsip ini tidak statis dalam tujuan materi, kurikulum media, dan metodenya, akan tetapi ia selalu membaharui diri dan berkembang. Ia memberikan respon terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat sesuai dengan perkembangan dan perubahan sosial yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Implikasi dalam pendidikan Islam terlihat pada saat pendidikan Islam memberikan respon terhadap pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dalam hubungan ini kita dapat melihat misalnya pada perkembangan dunia pesanren yang dahulu hanya bercorak salafiyah, namun kini sudah bervariasi.
2.6        Tujuan Pendidikan Dalam Islam
Tujuan pendidikan Islam di tempuh secara bertingkat, misalnya tujuan intermediair (sementara), yang dijadikan batas sasaran kemampuan yang harus dicapai dalam proses pendidikan pada tingkat tertentu, untuk mencapai akhir.
Tujuan insidential merupakan peristiwa tertentu yang tidak direncanakan, akan tetapi dapat dijadikan sasaran dari proses pendidikan pada tingkat tertentu. Misalnya, peristiwa meletusnya gunung berapi dapat dijadikan sasaran pendidikan yang mengandung tujuan tertentu, yaitu memotivasi kemampuan anak didik untuk memahami arti kekuasaan Tuhan yang harus diyakini kebenaranya. Tahap kemampuan ini menjadi bagian dari tujuan antara untuk mencapi tujuan akhir pendidikan.
Bila dilihat dari pendekatan sistem instruksional tertentu pendidikan Islam bisa dibagi dalam beberapa tujuan, yaitu sebagai berikut :
1.      Tujuan instruksional khusus (TIK), diarahkan pada setiap bidang studi yang harus dikuasai dan diamalkan oleh anak didik.
2.      Tujuan instruksional umum (TIU), diarahkan pada penguasaan atau pengamalan suatu bidang studi secara umum atau garis besarnya sebagai suatu kebulatan.
3.      Tujuan kulikurer, yang ditetapkan untuk mencapai melalui garis-garis besar program pengajaran di tiap institusi pendidikan.
4.      Tujuan institusional, adalah tujuan yang harus dicapai menurut program pendidikan ditiap sekolah atau lembaga pendidikan tertentu secara bulat seperti tujuan institusional SLTP/SLTA.
5.      Tujuan umum atau tujuan nasional, adalah cita-cita hidup yang ditetapkan untuk mencapai melalui proses kependidikan dengan berbagai cara atau sistem, baik sistem formal, sistem nonformal, maupun sistem informal.
Demikian pula dalam proses kepribadian Islam, bahwa penetapan tujuan akhir itu mutlak di perlukan dalam rangka mengarahkan segala proses, sejak dari perencanaan program sampai dengan pelaksanaannya, agar tetap konsisten dan tidak mengalami deviasi.
Rumusan-rumusan tujuan akhir pendidikan Islam telah disusun oleh para ulama dan ahli pendidikan Islam dari semua golongan dan mazhab dalam Islam, misalnya sebagai berikut.
1.      Rumusan yang ditetapkan dalam kongres sedunia tentang pendidikan Islam. Rumusan tersebut menunjukan bahwa pendidikan Islam mempunyai tujuan yang luas dan dalam. Seluas dan sedalam kebutuhan hidup manusia sebagai makhluk individual dan sebagai makhluk sosial yang dijiwai oleh nilai-nilai ajaran agama. Oleh karena itu, pendidikan Islam bertujuan untuk menumbuhkan pola kepribadian manusia yang bulat melalui latihan kejiwaan, kecerdasan otak, penalaran, perasaan, dan indra. Pendidikan harus melayani pertumbuhan manusia dalam semua aspek, baik aspek spiritual,intelektual, imajinasi, jasmaniah, ilmiah maupun bahasanya. Pendidikan tersebut harus mendorong semua aspek kearah keutamaan serta pencapaian kesempurnaan hidup.
2.      Rumusan yang lain adalah hasil keputusan seminar pendidikan Islam se-Indonesia tanggal 7 sampai dengan tanggal 11 Mei 1960, di Cipayung, Bogor.
        “Tujuan pendidikan Islam adalah menampakan takwa dan akhlak serta menegakkan kebenaran dalam rangka membentuk manusia yang berpribadi dan berbudi luhur menurut ajaran Islam.“ Tujuan tersebut di tetapkan berdasarkan atas pengertian bahwa: “pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh, dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.
3.      Adanya rumusan lain tentang pendidikan Islam oleh Prof. Dr. Omar Muhammad al-Toumy al-Syaebani sebagai berikut.
        “Tujuan pendidikan ialah perubahan yang diingini, yang diusahakan dalam proses pendidikan atau usaha pendidikan untuk mencapinya, baik pada tingkah laku individu dari kehidupan pribadinya atau kehidupan masyarakat serta pada alam sekitar dimana individu itu hidup atau pada proses pendidikan itu sendiri dan proses pengajaran sebagai suatu kegiatan asasi dan sebagai proporsi di antara profesi asasi dalam masyarakat.”
Menurut tugas dan fungsi manusia secara filosofis, tujuan pendidikan bisa dibedakan sebagai berikut.
·         Tujuan individu yang menyangkut individu, melalui proses belajar dengan tujuan mempersiapkan dirinya dalam kehidupan dunia dan akhirat.
·         Tujuan sosial yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan, dan dengan tingkah laku masyarakat umumnya serta dengan perubahan-perubahan yang diinginkan pada pertumbuhan pribadi, pengalaman dan kemajuan hidupnya.
·         Tujuan profesional yang menyangkut pengajaran sebagai ilmu, seni, dan profesi serta sebagai suatu kegiatan dalam masyarakat.
Oleh karena itu tujuan pendidikan pada hakikatnya merupakan cita–cita mewujudkan nilai-nilai maka filsafat pendidikanlah yang memberikan dasar dan corak serta arah tujuan pendidikan itu sendiri. Dalam rangka proses penyampaiannya, filsafat pendidikan berfungsi sebagai kolektor terhadap kesalahan atau penyimpangan-penyimpangan yang terjadi, sehingga memungkinkan proses tersebut dapat berfungsi kembali dalam jalur tujuannya.
Dalam pelaksanaan tujuan tersebut dapat dibedakan dalam dua macam tujuan, yaitu sebagai berikut.
1.      Tujuan operasional
Yaitu tujuan yang dicapai menurut program yang telah ditentukan atau di tetapkan dalam kurikulum. Produk kependidikan belum siap dipakai di lapangan karena masih memerlukan latihan keterampilan tentang bidang keahlian yang hendak diterjuni.
2.      Tujuan fungsional
Yaitu tujuan yang hendak di capai menurut kegunaannya, baik dari aspek teoritis maupun aspek praktis. Produk kependidikan telah mencapai keahlian teoritis ilmiah dan juga kemampuan/keterampilan yang sesuai dengan bidangnya, bilamana dapat menghasilkan anak didik yang memiliki kemampuan praktis atau teknis operasional. Artinya anak didik sudah siap dipakai dalam bidang keahlian yang dituntut oleh dunia kerja dan lingkungannya.
2.7        Komponen Dalam Pendidikan
Komponen merupakan bagian dari suatu sistem yang meiliki peran dalam keseluruhan berlangsungnya suatu proses untuk mencapai tujuan sistem. Komponen pendidikan berarti bagian-bagian dari sistem proses pendidikan, yang menentukan berhasil dan tidaknya atau ada dan tidaknya proses pendidikan. Bahkan dapat diaktan bahwa untuk berlangsungnya proses kerja pendidikan diperlukan keberadaan komponen-komponen tersebut.
Komponen-komponen yang memungkinkan terjadinya proses pendidikan atau terlaksananya proses mendidik minimal terdiri dari 4 komponen, yaitu 1) tujuan pendidikan, 2) peserta didik, 3) pendidik, 4) isi pendidikan dan 5) konteks yang mempengaruhi suasana pendidikan. Berikut akan diuraikan satu persatu komponen-komponen tersebut.
1.          Tujuan Pendidikan
Sebagai ilmu pengetahuan praktis, tugas pendidikan dan atau pendidik maupun guru ialah menanamkam sistem-sistem norma tingkah-laku perbuatan yang didasarkan kepada dasar-dasar filsafat yang dijunjung oleh lembaga pendidikan danpendidik dalam suatu masyarakat .
Adapun tujuan pendidikan Islam itu sendiri identik dengan tujuan Islam sendiri. Tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang berpribadi muslim kamil serta berdasarkan ajaran Islam. Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah QS. Ali Imran ayat 102. Mengenai tujuan pendidikan, menurut Klaus Mollenhaver yang memunculkan “Teori Interaksi” menyatakan bahwa “di dalam pendidikan itu selalu ada (dijumpai) mengenai masalah tujuan pendidikan”.
2.          Peserta Didik
Sehubungan dengan persoalan anak didik disekolah Amstrong 1981 mengemukakan beberapa persoalan anak didik yang harus dipertimbangkan dalam pendidikan. Persoalan tersebut mencakup apakah latar belakang budaya masyarakat peserta didik ? bagaimanakah tingkat kemampuan anak didik? hambatan-hambatan apakah yang dirasakan oleh anak didik disekolah? dan bagaimanakah penguasaan bahasa anak di sekolah? Berdasarkan persoalan tersebut perlu diciptakan pendidikan yang memperhatikan perbedaan individual, perhatian khusus pada anak yang memiliki kelainan, dan penanaman sikap dan tangggung jawab pada anak dididk.
3.          Pendidik
Salah satu komponen penting dalam pendidikan adalah pendidik. Terdapat beberapa jenis pendidik dalam konsep pendidikan sebagai gejala kebudayaan, yang tidak terbatas pada pendidikan sekolah saja.. Guru sebagai pendidik dalam lembaga sekolah, orang tua sebagai pendidik dalam lingkungan keluarga, dan pimpinan masyarakat baik formal maupun informal sebagai pendidik dilingkungan masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut diatas Syaifullah (1982) mendasarkan pada konsep pendidikan sebagai gejala kebudayaan, yang termasuk kategori pendidik adalah orang dewasa, orang tua, guru/pendidik, dan pemimpin kemasyarakatan, dan pemimpin keagamaan.
4.              Isi Pendidikan
Isi pendidikan memiliki kaitan yang erat dengan tujuan pendidikan. Untuk mencapai tujuan pendidikan perlu disampaikan kepada peserta didik isi/bahan yang biasanya disebut kurikulum dalam pendidikan formal. Isi pendidikan berkaitan dengan tujuan pendidikan, dan berkaitan dengan manusia ideal yang dicita-citakan. Untuk mencapai manusia yang ideal yang berkembang keseluruhan sosial, susila dan individu sebagai hakikat manusia perlu diisi dengan bahan pendidikan. Macam-macam isi pendidikan tersebut terdiri dari pendidikan agama., pendidikan moril, pendidikan estetis, pendidikan sosial, pendidikan civic, pendidikan intelektual, pendidikan keterampilan dan peindidikan jasmani.
5.              Konteks yang Memepengaruhi Suasana Pendidikan
a)          Lingkungan
Lingkungan pendidikan meliputi segala segi kehidupan atau kebudayaan. Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa pendidikan sebagai gejala kebudayaan, yang tidak membatasi pendidikan pada sekolah saja. Lingkungan pendidikan dapat dikelompokkan berdasarkan lingkungan kebudayaan yang terdiri dari lingkungan kurtural ideologis, lingkungan sosial politis, lingkungan sosial.
b)          Sarana
Sarana atau media pendidikan berguna untuk membantu dalam proses pendidikan sehingga sesuai dengan apa yang diharapkan.
c)          Metode
Metode dimaksudkan sebagai jalan dalam sebuah transfer nilai pendidikan oleh pendidik kepada peserta didik. Oleh karena itu pemakaian metode dalam pendidikan Islam mutlak dibutuhkan.
d)         Sistem/Kurikulum
Sistem pembelajaran yang baik akan semakin menambah peluang untuk berhasilnya sebuah pendidikan.
Keseluruhan komponen-komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan dalam proses pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan.

Komponen Pelaksanaan

Kelompok komponen-komponen pelaksanaan pendidikan, mencakup materi pendidikan, sistem penjenjangan, sistem penyampaian, proses pelaksanaan, dan pemanfaatan lingkungan.

1.    Materi pendidikan
Siswa belajar dalam bentuk interaksi dengan lingkungannya dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Sebagai perantara mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan, diperlukan bahan ajar atau materi pendidikan. Materi pendidikan tersusun atas topik-topik dan sub topik tertentu.
Kenyataan menunjukkan bahwa banyak sekali tuntutan yang harus dipenuhi lembaga pendidikan pada umumnya, begitu pula Islam, sedangkan waktu yang tersedia terbatas. Sehingga dalam hal ini, menjadi penting menyeleksi materi pendidikan.
Dalam rangka memilih materi pendidikan, Hilda Taba mengemukakan beberapa kriteria diantaranya: (1) harus valid dan signifikan, (2) harus berpegang pada realitas sosial, (3) kedalam dan keluasannya harus seimbang, (4) menjangkau tujuan yang luas, (5) dapat dipelajari dan disesuaikan dengan pengalaman siswa, dan (6) harus dapat memenuhi kebutuhan dan menarik minat peserta didik (Ghofir, 1993: 37-38).
Islam dengan Al Qur’annya menurut Abdurrahman Saleh Abdullah dipandang sebagai landasan pendidikan Islam yang prinsipnya hendak menyatukan mata pelajaran yang bermacam-macam. Tidak ada klasifikasi mata pelajaran umum dan agama, dimana semua materi termasuk ilmu alam harus diajarkan menurut pandangan Islam.
Untuk mencapai materi pendidikan seperti yang diinginkan ini, paling tidak yang perlu diperhatikan dalam rangka pengembangannya adalah jenis materi, ruang lingkup materi, klasifikasi materi, sekuensi materi, serta sumber acuannya.
2.    Sistem Penyampaian
Sistem penyampaian merupakan sistem atau strategi yang digunakan dalam menyampaikan materi pendidikan yang telah dirumuskan. Sistem penyampaian ini paling minim berkaitan dengan metode yang digunakan dalam menyampaikan materi, serta pendekatan pembelajaran. Ketika guru menyusun materi pendidikan, secara otomatis ia juga harus memikirkan strategi yang sesuai untuk menyajikan materi pendidikan tersebut.
Sementara itu Muhaimin (2003: 184) mengidentifikasi bahwa sistem pengampaian ini mencakup beberapa hal pokok, yaitu: strategi dan pendekatannya, metode pengajarannya, pengaturan kelas, serta pemanfaatan media pendidikan.
Metode misalnya, ia ikut menentukan efektif atau tidaknya proses pencapaian tujuan pendidikan. Semakin tepat metode yang digunakan, akan semakin efektif proses pencapaian tujuan pendidikan tersebut. Sehingga dalam hal ini terlihat betapa pentingnya pengetahuan tentang metode bagi seorang guru. Bagi Ahmad Tafsir, pengetahuan tentang metode mengajar yang terpenting adalah pengetahuan tentang cara menyusun urutan kegiatan belajar mengajar dalam rangka pencapaian tujuan (Tafsir, 1999: 34).
3.    Proses belajar mengajar (pelaksanaan)
Proses pelaksanaan belajar mengajar dalam pendidikan Islam secara umum dilaksanakan dengan lebih banyak mengacu kepada bagaimana seorang peserta didik belajar selain kepada apa yang dipelajari. Sehingga memungkinkan terjadinya interaksi antara peserta didik dengan guru, sesama peserta didik, dan peserta didik dengan lingkungannya.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan belajar mengajar antara lain adalah pola atau pendekatan belajar-mengajar yang digunakan, intensitas dan frekuensinya, model interaksi pendidik-peserta didik , dan / atau  antar peserta didik di dalam dan di luar kegiatan belajar mengajar, serta pengelolaan kelas, serta penciptaan suasana betah di sekolah. 
4.    Pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar
Dalam pendidikan Islam, sangat diperlukan adanya pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar. Lingkungan tersebut bisa lingkungan sekolah maupun luar sekolah dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Kalau di lingkungan sekolah, siswa dapat belajar dari guru dan sesama temannya, maka di lingkungan luar sekolah juga demikian halnya.
Pemanfaatan  lingkungan masyarakat sebagai sumber belajar bisa dilakukan dengan cara: melakukan kerja sama dengan orang tua murid, membawa sumber dari luar ke dalam kelas, membawa siswa ke masyarakat, dan sebagainya.

Komponen Pelaksana dan pendukung kurikulum

1.    Komponen pendidik
Dalam perspektif pendidikan Islam, seorang guru biasa disebut sebagai ustadz, mu’allim, murabby, mursyid,mudarris, dan mu’addib (Muhaimin, 2003: 209-213). Sebagai ustadz, ia dituntut untuk komitmen terhadap profesionalisme dalam mengemban tugasnya yaitu menyiapkan generasi penerus yang akan hidup pada zamannya di masa depan. Sebagai mu’allim ia dituntut mampu mengajarkan kandungan ilmu pengetahuan dan al hikmah atau kebijakan dan kemahiran melaksanakan ilmu pengetahuan itu dalam kehidupan yang mendatangkan manfaat dan semaksimal mungkin menjauhi madlarat. Sebagai murabby, guru dituntut menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi, sekaligus mengatur dan memelihara hasil kreasinya agar tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat, dan alam sekitarnya. Guru sebagai mursyid dituntut menularkan penghayatan (transinternalisasi) akhlaq dan/atau kepribadiannya pada peserta didik, baik itu berupa etos ibadah, etos kerja, etos belajar, maupun dedikasinya, atau dalam pengertian yang lebih semple seorang guru harus merupakan “model” atau pusat anutan, teladan bagi peserta didik. Sementara sebagai mudarris guru bertugas mencerdaskan peserta didiknya, menghilangkan ketidaktahuan atau memberantas kebodohan mereka, serta melatih ketrampilan peserta didik sesuai bakat, minat, dan kemampuannya. Sebagai mu’addib, seorang guru memliki peran dan fungsi untuk membangun peradaban (civilization) yang berkualitas di masa yang akan datang.
Sedangkan dalam perspektif humanisme religius, secara konvensional guru paling tidak harus memiliki tiga kualifikasi dasar, yaitu menguasai materi, antusiasme, dan penuh kasih sayang (loving) dalam mengajar dan mendidik (Abdurrahman Mas’ud, 2002: 194).
Dilihat dari segi aktualisasinya, pendidikan merupakan proses interaksi antara guru (pendidik) dengan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan. Pekerjaan mendidik merupakan pekerjaan profesional, sehingga guru sebagai pelaku utama pendidikan merupakan pendidik profesional. Peranan guru sebagai pendidik profesional akhir-akhir ini dipertanyakan eksistensinya, akibat munculnya serangkaian fenomenalulusan pendidikan yang secara moral cenderung merosot dan secara intelektual akademik juga kurang siap memasuki lapangan kerja (Abuddin Nata, 2003: 136).
Kalau fenomena tersebut benar adanya, maka baik langsung maupun tidak langsung akan terkait dengan peranan guru sebagai pendidik profesional. Sehingga sejalan dengan hal tersebut terkait dengan masalah pendidik sebagai komponen kurikulum  pendidikan, perlu diperhatikan beberapa hal yaitu: kode etik guru/pendidik, kualifikasinya, pengembangan tenaga pendidik, placement, imbalan atas kesejahteraan, dan sebagainya.
2.    Peserta didik
Banyak sebutan di sekitar kita mengenai peserta didik ini. Ada yang menyebut murid, siswa, santri, anak didik dan berbagai sebutan lainnya. Murid misalnya, secara terminologi dapat diartikan sebagai orang yang sungguh-sungguh mencari ilmu dengan mendatangu guru. Sedangkan dalam pendidikan Islam, ketika dihadapkan pada orang yang meguru kepada seorang guru, maka melahirkan konsep “santri kelana”. Istilah santri kalau berasal dari kata cantrik lebih pas dengan pendidikan Islam. Karena di padepokan, seorang cantrik pasti patuh pada sang guru.
Dalam pendidikan Islam, beberapa hal yang perlu dikembangkan terkait dengan komponen peserta didik (input) antara lain adalah persyaratan penerimaan (rekrutmen) siswa baru. Selain itu juga perlu diperhatikan mengenai rumusan tentang kualitas output peserta didik yang diinginkan, akan dibawa ke mana anak didiknya harus secara jelas dan tegas dirumuskan.
Kemudian yang juga perlu mendapatkan perhatian adalah jumlah peserta didik yang diinginkan, karena ini akan berkaitan erat dengan kapasitas sarana pendidikan yang dimiliki oleh sebuah lembaga pendidikan Islam. Dan tak kalah pentingnya adalah latar belakang peserta didik, baik itu mengenai pendidikannya, sosialnya, budayanya, pengalaman hidupnya, potensi, minat, bakat, dan lainnya.

3.    Komponen bimbingan dan konseling
Bimbingan dan penyuluhan adalah terjemahan dari bahasa Inggris guidance  (bimbingan) dan counseling (penyuluhan). Bimbingan mengandung pengertian proses pemberianbantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan, supaya individu dapat memahami dirinya sehingga sanggup mengarahkan dirinya dan dapat bertindak secara wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat (Natawidjaja, 1987: 7). Sedangkan konseling merupakan bantuan yang diberikan kepada klien dalam memecahkan masalah kehidupan dengan wawancara face to face atau yang sesuai dengan keadaan klien yang dihadapi untuk mencapai kesejahteraan hidupnya (Sukardi, 2003: 67).
Sedangkan bimbingan dan konseling dalam pendidikan Islam merupakan proses pengajaran dan pembelajaran psikososial yang berlaku dalam bentuk tatap muka antara konselor dengan peserta didik, dalam rangka antara lain memperkembangkan pengertian dan pemahaman pada diri siswa untuk mencapai kemajuan di sekolah. Pelaksanaan bimbingan dan konseling dalam pendidikan akan efektif dan berhasil apabila dilaksanakan atau dilakukan oleh suatu tim kerja (team work). Kemudian tim kerja inilah kemudian yang akan menyusun program perencanaan kegiatan bimbingan dan konseling di lembaga pendidikan.
Program perencanaan kegiatan bimbingan dan konseling perlu disusun agar upaya kegiatan layanan bimbingan di sekolah benar-benar berdaya guna dan berhasil guna, serta mengena pada sasarannya sebagai sarana pencapaian tujuan pendidikan (Sukardi, 2003: 7).
Selain itu dalam kegiatan bimbingan dan konseling perlu diperhatikan pula strategi pendekatannya, jenis program dan layanannya, proses layanan serta termasuk di dalamnya teknik bimbingan dan konselingnya Islam sangat mementingkan pendidikan. Dengan pendidikan yang benar dan berkualitas, individu-individu yang beradab akan terbentuk yang akhirnya memunculkan kehidupan sosial yang bermoral.
Sayangnya, sekalipun institusi-institusi pendidikan saat ini memiliki kualitas dan fasilitas, namun institusi-institusi tersebut masih belum  memproduksi individu-individu yang beradab. Sebabnya, visi dan misi pendidikan yang mengarah kepada terbentuknya manusia yang beradab, terabaikan dalam tujuan institusi pendidikan. Penekanan kepada pentingnya anak didik supaya hidup dengan nilai-nilai kebaikan, spiritual dan moralitas seperti terabaikan. Bahkan kondisi sebaliknya yang terjadi.
Saat ini, banyak institusi pendidikan telah berubah menjadi industri bisnis, yang memiliki visi dan misi yang pragmatis. Pendidikan diarahkan untuk melahirkan individu-individu pragmatis yang bekerja untuk meraih kesuksesan materi dan profesi sosial yang akan memakmuran diri, perusahaan dan Negara. Pendidikan dipandang secara ekonomis dan dianggap sebagai sebuah investasi. “Gelar” dianggap sebagai tujuan utama, ingin segera dan secepatnya diraih supaya modal yang selama ini dikeluarkan akan menuai keuntungan. Sistem pendidikan seperti ini sekalipun akan memproduksi anak didik yang memiliki status pendidikan yang tinggi, namun status tersebut tidak akan menjadikan mereka sebagai individu-individu yang beradab.
Pendidikan yang bertujuan pragmatis dan ekonomis sebenarnya merupakan pengaruh dari paradigma pendidikan Barat yang sekular. Dalam budaya Barat sekular, tingginya pendidikan seseorang tidak berkorespondensi dengan kebaikan dan kebahagiaan individu yang bersangkutan. Dampak dari hegemoni pendidikan Barat terhadap kaum Muslimin adalah banyaknya dari kalangan Muslim memiliki pendidikan yang tinggi, namun dalam kehidupan nyata, mereka belum menjadi Muslim-Muslim yang baik dan berbahagia. Masih ada kesenjangan antara tingginya gelar pendidikan yang diraih dengan rendahnya moral serta akhlak kehidupan Muslim. Ini terjadi disebabkan visi dan misi pendidikan yang pragmatis.
Sebenarnya, agama Islam memiliki tujuan yang lebih komprehensif dan integratif dibanding dengan sistem pendidikan sekular yang semata-mata menghasilkan para anak didik yang memiliki paradigma yang pragmatis.

2.8        Peranan Guru Dalam Pendidikan
Pembaharuan sistem pendidikan nasional dicirikan dengan dirumuskannya beberapa prinsip, diantaranya bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif, dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Profesionalisasi guru meliputi berbagai upaya agar guru berperan sebagai spiritual father bagi anak didik yang memberikan santapan rohani dengan ilmu dan pembinaan akhlak, berfungsi sebagai pengajar, pendidik, pembimbing dan pemimpin, dan memiliki karakter keguruan yang senantiasa bergairah, menumbuhkan bakat dan sikap, mengatur proses belajar, memperhatikan perubahan, dan menjalin hubungan manusiawi.
Selain itu, seorang guru senantiasa harus lebih pendekatan kepada anak didiknya, semua ini agar guru itu bisa lebih mengetahui kelebihan dan kekurangan dari anak didik tersebut. Proses belajar mengajar tidak akan terjalin sempurna jika di dalamnya tidak ada alat. Alat disini berupa laptop, whiteboard, atau alat lainnya yang dapat digunakan agar anak didiknya dapat merekam dan lebih memahami tentang materi apa yang dipelajarinya tersebut.
Efektivitas dan efisien belajar individu di sekolah sangat bergantung kepada peran guru. Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan bahwa dalam pengertian pendidikan secara luas, seorang guru yang ideal dapat berperan sebagai :
1.          Konservator (pemelihara) sistem nilai yang merupakan sumber norma kedewasaan;
2.          Inovator (pengembang) sistem nilai ilmu pengetahuan;
3.          Transmitor (penerus) sistem-sistem nilai tersebut kepada peserta didik;
4.          Transformator (penerjemah) sistem-sistem nilai tersebut melalui penjelmaan dalam pribadinya dan perilakunya, dalam proses interaksi dengan sasaran didik;
5.          Organisator (penyelenggara) terciptanya proses edukatif yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara formal (kepada pihak yang mengangkat dan menugaskannya) maupun secara moral (kepada sasaran didik, serta Tuhan yang menciptakannya).
Selain itu, Abin Syamsuddin juga mengutip pemikiran Gage dan Berliner, yang mengemukakan peran guru dalam proses pembelajaran peserta didik, yang mencakup :
1.       Guru sebagai perencana (planner) yang harus mempersiapkan apa yang akan dilakukan di dalam proses belajar mengajar (pre-teaching problems).;
2.       Guru sebagai pelaksana (organizer), yang harus dapat menciptakan situasi, memimpin, merangsang, menggerakkan, dan mengarahkan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan rencana, di mana ia bertindak sebagai orang sumber (resource person), konsultan kepemimpinan yang bijaksana dalam arti demokratik & humanistik (manusiawi) selama proses berlangsung (during teaching problems).
3.       Guru sebagai penilai (evaluator) yang harus mengumpulkan, menganalisa, menafsirkan dan akhirnya harus memberikan pertimbangan (judgement), atas tingkat keberhasilan proses pembelajaran, berdasarkan kriteria yang ditetapkan, baik mengenai aspek keefektifan prosesnya maupun kualifikasi produknya.
Daoed Yoesoef (1980) menyatakan bahwa seorang guru mempunyai tiga tugas pokok yaitu tugas profesional, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan (sivic mission). Tugas-tugas profesional dari seorang guru yaitu meneruskan atau transmisi ilmu pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai lain yang sejenis yang belum diketahui anak dan seharusnya diketahui oleh anak.
Ketiga tugas guru itu harus dilaksanakan secara bersama-sama dalam kesatuan organis harmonis dan dinamis. Seorang guru tidak hanya mengajar di dalam kelas saja tetapi seorang guru harus mampu menjadi katalisator, motivator dan dinamisator pembangunan tempat di mana ia bertempat tinggal.
Ketiga tugas ini jika dipandang dari segi anak didik maka guru harus memberikan nilai-nilai yang berisi pengetahuan masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang, pilihan nilai hidup dan praktek-praktek komunikasi. Pengetahuan yang kita berikan kepada anak didik harus mampu membuat anak didik itu pada akhimya mampu memilih nilai-nilai hidup yang semakin komplek dan harus mampu membuat anak didik berkomunikasi dengan sesamanya di dalam masyarakat, oleh karena anak didik ini tidak akan hidup mengasingkan diri.
WF Connell (1972) membedakan tujuh peran seorang guru yaitu (1) pendidik (nurturer), (2) model, (3) pengajar dan pembimbing, (4) pelajar (learner), (5) komunikator terhadap masyarakat setempat, (6) pekerja administrasi, serta (7) kesetiaan terhadap lembaga.
Peran guru sebagai pendidik (nurturer) merupakan peran yang berkaitan dengan tugas-tugas memberi bantuan dan dorongan (supporter), tugas-tugas pengawasan dan pembinaan (supervisor) serta tugas-tugas yang berkaitan dengan mendisiplinkan anak agar anak itu menjadi patuh terhadap aturan-aturan sekolah dan norma hidup dalam keluarga dan masyarakat. Tugas-tugas ini berkaitan dengan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anak untuk memperoleh pengalaman-pengalaman lebih lanjut seperti penggunaan kesehatan jasmani, bebas dari orang tua, dan orang dewasa yang lain, moralitas tanggungjawab kemasyarakatan, pengetahuan dan keterampilan dasar, persiapan.untuk perkawinan dan hidup berkeluarga, pemilihan jabatan, dan hal-hal yang bersifat personal dan spiritual. Oleh karena itu tugas guru dapat disebut pendidik dan pemeliharaan anak. Guru sebagai penanggung jawab pendisiplinan anak harus mengontrol setiap aktivitas anak-anak agar tingkat laku anak tidak menyimpang dengan norma-norma yang ada.
Peran guru sebagai model atau contoh bagi anak. Setiap anak mengharapkan guru mereka dapat menjadi contoh atau model baginya. Oleh karena itu tingkah laku pendidik baik guru, orang tua atau tokoh-tokoh masyarakat harus sesuai dengan norma-norma yang dianut oleh masyarakat, bangsa dan negara. Karena nilai nilai dasar negara dan bangsa Indonesia adalah Pancasila, maka tingkah laku pendidik harus selalu diresapi oleh nilai-nilai Pancasila.
Peranan guru sebagai pengajar dan pembimbing dalam pengalaman belajar. Setiap guru harus memberikan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman lain di luar fungsi sekolah, hasil belajar yang berupa tingkah laku pribadi dan spiritual dan memilih pekerjaan di masyarakat, hasil belajar yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial tingkah laku sosial anak.
Peran guru sebagai pelajar (leamer). Seorang guru dituntut untuk selalu menambah pengetahuan dan keterampilan agar supaya pengetahuan dan keterampilan yang dirnilikinya tidak ketinggalan jaman. Pengetahuan dan keterampilan yang dikuasai tidak hanya terbatas pada pengetahuan yang berkaitan dengan pengembangan tugas profesional, tetapi juga tugas kemasyarakatan maupun tugas kemanusiaan.
Peran guru sebagai setiawan dalam lembaga pendidikan. Seorang guru diharapkan dapat membantu kawannya yang memerlukan bantuan dalam mengembangkan kemampuannya.
Peranan guru sebagai komunikator pembangunan masyarakat. Seorang guru diharapkan dapat berperan aktif dalam pembangunan di segala bidang yang sedang dilakukan. Ia dapat mengembangkan kemampuannya pada bidang-bidang dikuasainya.
Guru sebagai administrator. Seorang guru tidak hanya sebagai pendidik dan pengajar, tetapi juga sebagai administrator pada bidang pendidikan dan pengajaran. Oleh karena itu seorang guru dituntut bekerja secara administrasi teratur. Segala pelaksanaan dalam kaitannya proses belajar mengajar perlu diadministrasikan secara baik. Sebab administrasi yang dikerjakan seperti membuat rencana mengajar, mencatat hasil belajar dan sebagainya merupakan dokumen yang berharga bahwa ia telah melaksanakan tugasnya dengan baik.
Klasifikasi strategi belajar-mengajar, berdasarkan bentuk dan pendekatan:
1.      Expository dan Discovery/Inquiry :
“Exposition” (ekspositorik) yang berarti guru hanya memberikan informasi yang berupa teori, generalisasi, hukum atau dalil beserta bukti bukti yang mendukung. Siswa hanya menerima saja informasi yang diberikan oleh guru. Pengajaran telah diolah oleh guru sehingga siap disampaikan kepada siswa, dan siswa diharapkan belajar dari informasi yang diterimanya itu, disebut ekspositorik. Hampir tidak ada unsur discovery (penemuan). Guru dapat memilih metode ceramah, ia hanya akan menyampaikan pesan berturut-turut sampai pada pemecahan masalah/eksperimen bila guru ingin banyak melibatkan siswa secara aktif.

2.      Discovery dan Inquiry :
Discovery (penemuan) sering dipertukarkan pemakaiannya dengan inquiry (penyelidikan). Discovery (penemuan) adalah proses mental dimana siswa mengasimilasikan suatu konsep atau suatu prinsip. Proses mental misalnya; mengamati, menjelaskan, mengelompokkan, membuat kesimpulan dan sebagainya. Sedangkan konsep, misalnya; bundar, segi tiga, demokrasi, energi dan sebagai. Prinsip misalnya “Setiap logam bila dipanaskan memuai” .
Inquiry, merupakan perluasan dari discovery (discovery yang digunakan lebih mendalam) Artinya, inquiry mengandung proses mental yang lebih tinggi tingkatannya. Misalnya; merumuskan problema, merancang eksperi men, melaksanakan eksperimen, melaksanakan eksperimen, mengumpulkan data, menganalisis data, membuat kesimpulan, dan sebagainya.
3.      Pendekatan konsep :
Terlebih dahulu harus kita ingat bahwa istilah “concept” (konsep) mempunyai beberapa arti. Namun dalam hal ini kita khususkan pada pembahasan yang berkaitan dengan kegiatan belajar-mengajar. Suatu saat seseorang dapat belajar mengenal kesimpulan benda-benda dengan jalan membedakannya satu sama lain. Jalan lain yang dapat ditempuh adalah memasukkan suatu benda ke dalam suatu kelompok tertentu dan mengemukakan beberapa contoh dan kelompok itu yang dinyatakan sebagai jenis kelompok tersebut. Jalan yang kedua inilah yang memungkinkan seseorang mengenal suatu benda atau peristiwa sebagai suatu anggota kelompok tertentu, akibat dan suatu hasil belajar yang dinamakan “konsep”. Bila seseorang telah mengenal suatu konsep, maka konsep yang telah diperoleh tersebut dapat digunakan untuk mengorganisasikan gejala-gejala yang ada di dalam kehidupan. Proses menghubung-hubungkan dan mengorganisasikan konsep yang satu dengan yang lain dilakukan melalui kemampuan kognitif.
4.      Pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA)
Pendekatan ini sebenamya telah ada sejak dulu, ialah bahwa di dalam kelas mesti terdapat kegiatan belajar yang mengaktifkan siswa (melibatkan siswa secara aktif). Hanya saja kadar (tingkat) keterlibatan siswa itulah yang berbeda. Kalau dahulu guru lebih banyak menjejalkan fakta, informasi atau konsep kepada siswa, akan tetapi saat ini dikembangkan suatu keterampilan untuk memproses perolehan siswa. Kegiatan belajar-mengajar tidak lagi berpusat pada siswa (student centered).
Siswa pada hakekatnya memiliki potensi atau kemampuan yang belum terbentuk secara jelas, maka kewajiban gurulah untuk merangsang agar mereka mampu menampilkan potensi itu, betapapun sederhananya. Para guru dapat menumbuhkan keterampilan-keterampilan pada iswa sesuai dengan taraf perkembangannya, sehingga mereka memperoleh konsep. Dengan mengembangkan keterampilan keterampilan memproses perolehan, siswa akan mampu menemukan dan mengembangkan sendin fakta dan kosep serta mengembangkan sikap dan nilai yang dituntut. Proses belajar-mengajar seperti inilah yang dapat menciptakan siswa belajar aktif.
2.9        Pendidikan Dalam Pondok Pesantren
Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam. Di lembaga ini diajarkan dan dididik ilmu pengetahuan dan nilai-nilai agama kepada santri. Pada awalnya pendidikan pesantren menonjolkan pendidikan dan penanaman nilai-nilai agama kepada para santri lewat kitab-kitab klasik, selanjutnya setelah masuknya ide-ide pembaruan pemikiran Islam ke Indonesia, terjadilah perubahan pada pendidikan pesantren yang semula mendalami ilmu agama saja, kemudian dimasukkan mata pelajaran umum yang diharapkan dapat memperluas cakrawala berpikir para santri dan untuk bisa pula para santri mengikuti ujian negara yang diadakan oleh pemerintah. Terdapat 5 pola berbeda dari pengajaran tiap-tiap pesantren:
(1)       Pola I
Pola yang dimaksud adalah pesantren masih terikat kuat dengan sistem pendidikan Islam sebelum zaman pembaruan Islam di Indonesia. Ciri-ciri dari pesantren pola I ini adalah pemakaian metode pengajaran sorogan, wetonan dan hafalan di dalam berlangsungnya proses belajar mengajar.

(2)       Pola II
Pola yang dimaksud merupakan pengembangan dari pesantren pola I. Dimana, pesantren pola II mengajarkan ekstra kurikuler serta keterampilan dan praktik keorganisasian disamping metode pelajaran seperti pada pesantren pola I.
(3)       Pola III
Pesantren pola ini merupakan pesantren yang mengupayakan penyeimbangan antara ilmu agama dan umum. Ditanamkan sikap positif terhadap kedua jenis ilmu itu kepada santri.
(4)       Pola IV
Selanjutnya, pesantren pola IV ini lebih mengutamakan pengajaran ilmu-ilmu keterampilan di samping ilmu agama sebagai mata pelajaran pokok. Pesantren ini mendidik para santrinya untuk memahami dan dapat melaksanakan berbagai keterampilan sebagai bekal hidupnya.
(5)       Pola V
Pesantren pola V ini adalah pesantren yang lebih lengkap dari pola-pola sebelumnya. Tergolong merupakan pendidikan formal dan nonformal. Di pesantren ini dapat ditemukan pendidikan madrasah, sekolah perguruan tinggi, pengkajian kitab-kitab klasik, majelis taklim, dan pendidikan keterampilan.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam. Pendidikan Islam pada dasarnya adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia yang baik yang berbentuk jasmani maupun rohani.
2.10   Pendidikan Islam dan Pendidikan Indonesia
Syari’at Islam tidak akan dihayati dan diamalkan orang jika hanya dibiarkan saja, tetapi harus dididik melalui proses pendidikan. Nabi telah mengajak orang untuk beriman dan beramal serta berakhlak baik sesuai ajaran Islam dengan berbagai metoda dan pendekatan. Dari satu segi kita melihat, bahwa pendidikan Islam itu lebih banyak ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan diri sendiri maupun orang lain. Di segi lainnya, pendidikan Islam tidak hanya bersifat teoritis saja, tetapi juga praktis. Ajaran Islam tidak memisahkan antara iman dan amal saleh. Oleh karena itu, pendidikan Islam merupakan pendidikan iman yang disertai dengan pendidikan amal. Oleh karena ajaran Islam berisi ajaran tentang sikap dan tingkah laku pribadi masyarakat, menuju kesejahteraan hidup perorangan dan bersama, maka pendidikan Islam adalah pendidikan individu dan pendidikan masyarakat. Semula orang yang bertugas mendidik adalah para Nabi dan Rasul, selanjutnya para ulama dan cerdik pandailah sebagai penerus tugas dan kewajiban mereka.
Pendidikan kita sekarang ini memang harus disempurnakan agar dapat mengantar lulusan hidup wajar pada masa depan. Mengapa pendidikan harus diproyeksikan ke masa depan? Karena hasil suatu pendidikan tidak dapat dinikmati masa kini, melainkan pada masa depan, dekat atau jauh. Pendidikan yang berlangsung saat ini di dunia, khususnya di Indonesia; memang harus diperbarui, diberi sentuhan baru yang segar agar ia sehat dan mampu mengantarkan lulusan menghadapi masa depannya.
Dalam al-Qur’an kata pendidikan dikenal dengan istilah tarbiyah. Kata ini berasal dari kata rabba, yurabbi yang berarti memelihara, mengatur, mendidik, seperti yang terdapat dalam surat al-Isra’ [17]: 24. Tarbiyah tidak hanya memindahkan ilmu dari satu pihak kepada pihak lain, namun juga penanaman nilai-nilai luhur atau akhlâk al-karîmah, serta pembentukan karakter. Oleh karena itulah, Allah swt menyebut dirinya dengan sebutan Rabb yang berarti pemelihara dan pendidik. Kita selalu dituntut untuk selalu memuji Rabb dalam segala kondisi, susah atau senang, bahagia atau susah, mendapat nikmat atau musibah. Sebab, Tidak ada satupun yang datang dari Rabb dalam bentuk keburukan. Semuanya bertujuan untuk kebaikan manusia, karena Tuhan adalah Pendidik (Rabb). Jikalau sesuatu itu buruk dalam pandangan manusia, itu hanyalah disebabkan keterbatasan dan ketidakmampuan manusia memahami Tuhan (Rabb) secara utuh dan menyeluruh. Tetapi ada saatnya nanti, manusia menyadari bahwa sesuatu yang dulu tidak dia senangi, ternyata Tuhan berikan demi kebaikannya. Ibarat seorang anak yang dilarang bermain oleh ibunya, sehingga dia kesal dan mengatakan ibunya tidak menyayanginya. Setelah dia dewasa dan meraih kesuksesan hidup, barulah dia sadar bahwa apa yang dilakukan ibunya adalah demi kebaikannya, walupun wujudnya ketika itu tidak menyenangkannya. Dengan demikian, Islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk berhenti mencari ilmu, karena ilmu itu begitu luasnya. Semakin banyak yang diketahui akan semakin sadar manusia itu, bahwa begitu banyak yang belum dia ketahui. Itulah agaknya kenapa dalam wahyu pertama yang diturunkan Allah swt, kata iqra’ diulang dua kali. Hal itu berarti bahwa membaca dan proses belajar harus selalu dilakukan. Sebab, semakin banyak kita membaca semakin mulia kita di depan manusia dan di mata Allah swt, karena kemulian Tuhan akan diberikan kepada orang yang selalu membaca (warabbuka al- akram/ dan Tuhanmu Maha Mulia).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu : memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian : proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik. Pendidikan adalah upaya menuntun anak-anak  sejak lahir untuk mencapai kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi alam beserta lingkungannya.
Dalam pendidikan terdapat dua hal penting yaitu aspek kognitif (berpikir) dan aspek afektif (merasa). Sebagai ilustrasi, saat kita mempelajari sesuatu maka di dalamnya tidak saja proses berpikir yang ambil bagian tapi juga ada unsur-unsur yang berkaitan dengan perasaan seperti semangat, suka dan lain-lain.
Pendidikan menurut Islam sangat mengekang anak untuk lebih mendalami tentang Islam dan biasanya dipisahkan antara kaum lelaki dan perempuan. Karena menurut Islam, mereka bukan muhrimnya untuk bersama. Sedangkan pendidikan di Indonesia sangat mengekang anak untuk lebih mendalami ilmu alam dan tidak dipisahkan antara kaum lelaki dan perempuan.
Pendidikan anak adalah perkara yang sangat penting di dalam Islam. Seorang pendidik, baik orangtua maupun guru hendaknya mengetahui betapa besarnya tanggung-jawab mereka di hadapan Allah ‘azza wa jalla terhadap pendidikan putra-putri Islam. Beberapa tuntunan tersebut antara lain:

·       Menanamkan Tauhid dan Aqidah yang Benar kepada Anak
Suatu hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa tauhid merupakan landasan Islam. Apabila seseorang benar tauhidnya, maka dia akan mendapatkan keselamatan di dunia dan akhirat. Sebaliknya, tanpa tauhid dia pasti terjatuh ke dalam kesyirikan dan akan menemui kecelakaan di dunia serta kekekalan di dalam adzab neraka.
·       Mengajari Anak untuk Melaksanakan Ibadah
Hendaknya sejak kecil putra-putri kita diajarkan bagaimana beribadah dengan benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mulai dari tatacara bersuci, shalat, puasa serta beragam ibadah lainnya. Bila mereka telah bisa menjaga ketertiban dalam shalat, maka ajak pula mereka untuk menghadiri shalat berjama’ah di masjid. Dengan melatih mereka dari dini, insya Allah ketika dewasa, mereka sudah terbiasa dengan ibadah-ibadah tersebut.
·       Mengajarkan Al-Quran, Hadits serta Doa dan Dzikir yang Ringan kepada Anak-anak
Dimulai dengan surat Al-Fathihah dan surat-surat yang pendek serta doa tahiyat untuk shalat. Dan menyediakan guru khusus bagi mereka yang mengajari tajwid, menghapal Al-Quran serta hadits. Begitu pula dengan doa dan dzikir sehari-hari. Hendaknya mereka mulai menghapalkannya, seperti doa ketika makan, keluar masuk WC dan lain-lain.
·       Mendidik Anak dengan Berbagai Adab dan Akhlaq yang Mulia
Ajarilah anak dengan berbagai adab Islami seperti makan dengan tangan kanan, mengucapkan basmalah sebelum makan, menjaga kebersihan, mengucapkan salam, dll. Begitu pula dengan akhlak. Tanamkan kepada mereka akhlaq-akhlaq mulia seperti berkata dan bersikap jujur, berbakti kepada orang tua, dermawan, menghormati yang lebih tua dan sayang kepada yang lebih muda, serta beragam akhlaq lainnya.

·       Melarang Anak dari Berbagai Perbuatan yang Diharamkan
Hendaknya anak sedini mungkin diperingatkan dari beragam perbuatan yang tidak baik atau bahkan diharamkan, seperti merokok, judi, minum khamr, mencuri, mengambil hak orang lain, zhalim, durhaka kepada orang tua dan segenap perbuatan haram lainnya.
·       Menanamkan Cinta Jihad serta Keberanian
Bacakanlah kepada mereka kisah-kisah keberanian Nabi dan para sahabatnya dalam peperangan untuk menegakkan Islam agar mereka mengetahui bahwa beliau adalah sosok yang pemberani, dan sahabat-sahabat beliau seperti Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali dan Muawiyah telah membebaskan negeri-negeri. Didiklah mereka agar berani beramar ma’ruf nahi munkar, dan hendaknya mereka tidaklah takut melainkan hanya kepada Allah. Dan tidak boleh menakut-nakuti mereka dengan cerita-cerita bohong, horor serta menakuti mereka dengan gelap.
·       Membiasakan Anak dengan Pakaian yang Syar’i
Hendaknya anak-anak dibiasakan menggunakan pakaian sesuai dengan jenis kelaminnya. Anak laki-laki menggunakan pakaian laki-laki dan anak perempuan menggunakan pakaian perempuan. Jauhkan anak-anak dari model-model pakaian barat yang tidak syar’i, bahkan ketat dan menunjukkan aurat.
Dari orde Presiden Soekarno, kemudian Soeharto hingga saat ini. Sudah beberapa kali sistem pendidikan Nasional Bangsa ini berubah-ubah. Namun mengapa tidak pernah selesai. Artinya satu sistem akan berhasil apabila dia dituntaskan. Namun apa yang terjadi setiap kali perubahan Presiden dan Menteri maka berubah pula kebijakan tentang sistem pendidikan nasional ini. Padahal sistem pendidikan Nasional bukanlah milik Presiden, Menteri ataupun Partai Politik. Sekolah sebagai sarana dan tempat mendapatkan pengajaran dan pendidikan yang akan membuat kita mengenal, tahu, dan bisa melakukan hal-hal yang baru dengan cara yang cerdas dan efisien. Tidak sekedar membina dan mendidik para siswanya untuk menghadapi Ujian Nasional. Ujian yang akan mempertaruhkan 3 tahun pembelajaran dan jerih payah siswa.
2.11   Ayat al-Qur’an Tentang Pendidikan




Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majelis”, maka lapangkanlah. Niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q. S. Al-Mujadalah, 58: 11)



Artinya: “Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min pergi semuanya (ke medan perang), mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agamadan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (Q. S. At Taubah 9: 122)



Artinya: “(Apakah kamu orang yang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah pada waktu malam dengan sujud dan berdiri, karena takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran. (Q. S Az Zumar 39: 9)
Berdasarkan ayat Al-Qur’an tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu:
A.    Al-Qur’an sangat mendorong perkembangan ilmu pengetahuan. Terlihat dari banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an yang menyuruh manusia untuk menggunakan akal pikiran sehingga dapat memperhatikan segala ciptaan Allah swt.
B.     Al-Qur’an juga menyebutkan perbedaan yang sangat jauh antara orang-orang yang berilmu dengan yang tidak. Mereka yang berilmu akan ditinggikan derajatnya di hadapan Allah swt.
C.     Banyak sekali penemuan yang terjadi di dunia yang seiring dengan kebenaran ayat-ayat Al-Qur’an, namun Al-Qur’an bukanlah buku tentang ilmu pengetahuan dan tidak membahas seluruh cabang ilmu pengetahuan.







BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pendidikan merupakan usaha yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan terencana (bertahap) dalam meningkatkan potensi diri peserta didik dalam segala aspeknya menuju terbentuknya kepribadian dan akhlak mulia dengan menggunakan media dan metode pembelajaran yang tepat guna melaksanakan tugas hidupnya sehingga dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Pendidikan Islam adalah suatu sistem kependidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah, sebagaimana Islam telah menjadi pedoman bagi seluruh aspek kehidupan manusia.
Beberapa paradigma dasar bagi sistem pendidikan dalam kerangka Islam:
1.    Islam meletakkan prinsip kurikulum, strategi, dan tujuan pendidikan berdasarkan aqidah Islam. Pada aspek ini diharapkan terbentuk sumber daya manusia terdidik dengan aqliyah Islamiyah (pola berfikir islami) dan nafsiyah islamiyah (pola sikap yang islami).
2.    Pendidikan harus diarahkan pada pengembangan keimanan, sehingga melahirkan amal shaleh dan ilmu yang bermanfaat. Prinsip ini mengajarkan pula bahwa di dalam Islam yang menjadi pokok perhatian bukanlah kuantitas, tetapi kualitas pendidikan. Perhatikan bagaimana Al Quran mengungkapkan tentang ahsanu amalan atau amalan shalihan (amal yang terbaik atau amal shaleh).
3.    Pendidikan ditujukan dalam kaitan untuk membangkitkan dan mengarahkan potensi-potensi baik yang ada pada diri setiap manusia selaras dengan fitrah manusia dan meminimalisir aspek yang buruknya.
4.    Keteladanan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam suatu proses pendidikan. Dengan demikian sentral keteladanan yang harus diikuti adalah Rasulullah saw. Dengan demikian Rasulullah saw. merupakan figur sentral keteladanan bagi manusia. Al quran mengungkapkan bahwa “Sungguh pada diri Rasul itu terdapat uswah (teladan) yang terbaik bagi orang-orang yang berharap bertemu dengan Allah dan hari akhirat”.













DAFTAR PUSTAKA
Al Qarashi, Baqir Sharif. 2000. Seni Mendidik Islami. Jakarta: Pustaka Zahra.
Adiwikarta, endang soetari. 2009. Mereka Bicara Pendidikan Islam,Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Adi, Susono dkk. 1997. Solusi Islam Atas Problematika Umat. Jakarta: Gema Insan Press.
Dr. moh. Roqib,M . Ag. 2009. Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: LkiS.
Arifin, Muhammad. 2008. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Ramayulis. 2002. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
Daulay, Haidar Putra. 2006. Pendidikan Islam – Dalam Sistem Nasional di Indonesia. Jakarta: Kencana
Nata, Abuddin. 2008. Tafisr Ayat-ayat Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Referensi Internet:
http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2043347-pengertian-pendidikan/
http://mixingblogging.blogspot.com/2007/06/tujuan-dan-manfaat-life-skill-education.html
http://www.scribd.com/doc/33615435/12/E-Fungsi-Pendidikan
http://cybercounselingstain.bigforumpro.com/t136-pengertian-pendidikan-islam
http://forum.dudung.net/index.php?topic=5368.0
http://hpcartridgerefills.com/pendidikan-dalam-islam-tujuan-pendidikan-dalam-islam/
http://abulraihan.wordpress.com/2008/05/12/komponen%E2%80%93komponen-kurikulum-pendidikan/
http://iirmakalahtarbiyah.blogspot.com/2010/11/makalah-ilmu-pendidikan-islam-komponen.html
http://pakguruonline.pendidikan.net/buku_tua_pakguru_dasar_kpdd_b11.html
http://pakguruonline.pendidikan.net/buku_tua_pakguru_dasar_kpdd_154.html
http://anakmuslim.wordpress.com/2007/02/24/pendidikan-anak-dalam-islam/
http://syofyanhadi.blogspot.com/2008/06/konsep-pendidikan-menurut-islam.html




Tidak ada komentar:

Posting Komentar